A.
Muthlaq Dan Muqayyad
·
Definisi Muthlaq Dan Muqayyad
Muthlaq adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat tanpa
sesuatu qoyyid[ pembatas]. Jadi ia hanya menunjuk pada satu individu tidak
tertentu dari satu hakikat tersebut. Lafad muthlaq ini pada umumnya berbentuk nakiroh dalam konteks
kalimat positif. Misalnya lafad roqobatun [budak]dalam ayat fatahriiru
roqobatin.[maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak]....(al-Mujadalah
[58]:13)pernyataan ini meliputi pembebasan seorang budak yang mencangkup segala
jenis budak, baik yang mu’min maupun yang kafir.lafadz rokobah adalah nakiroh
dalam konteks positif. Karna itu pengertian ayat ini adalah, wajib atasnya
memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga. Juga seperti ucapan
nabi:”tidak ada pernikahan tanpa seorang wali” (hadist ahmad dan empat
imam) “wali” disini adalah muthlaq,
meliputi segala jenis wali baik yang berakal sehat maupun tidak. Oleh karna
itu, sebagian ulama usul, mendefinisikan muthlak dengan “suatu ungkapan tentang
isim nakirah dalam konteks positif”.kata-kata “nakirah”mengecualikan isim
ma’rifah dan semua lafadz yang menunjukan sesuatu yang tertentu.Dan kata-kata
“dalam konteks positif” mengecualikan isim nakirah dalam konteks negatif
(nafy),karena nakirah dalam konteks negatif mempunyai arti umum,meliputi semua
individu yang termasuk jenisnya.
Muqayyad adalah lafadz
yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan),seperti “raqabah” (budak)
yang dibatasi dengan iman dalam ayat فتحرير رقبة مؤمنة maka
hendaklah pembunuh itu memerdekakan budak yang beriman).(Q.S.an-Nisa : 92 )
·
Macam-macam Muthlaq dan Muqayyad dan Status Hukum
Masing-masing
1.
Sebab dan hukumnya sama, seperti “puasa” untuk kafarah sumpah.Lafaz itu dalam
qiraah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara muthlak :
فمن
لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذالك كفارة أيمانكم إذا حلفتم
(Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar).....) (Q.S.al-Maidah : 89 ).
Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan “tatabu”
(berturut-turut) dalam qira’ah Ibnu Mas’ud : فصيام ثلاثة أيام متتابعات (maka kafarahnya puasa selama tiga hari
berturut-turut)”. Dalam hal seperti ini, pengertian lafaz yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad
(dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafaz mutlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh
lafaz muqayyad), karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan.
Oleh karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga
hari tersebut harus dilakukan berturut-turut.[1]
Dalam pada itu golongan yang memandang qira’ah tidak
mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah,
tidak sependapat dengan golongan pertama.
Maka dalam kasus dipandang tidak ada muqayyad yang
karenanya lafadz mutlaq dibawa kepadanya.
2.
Sebab
sama namun hukum berbeda,
seperti kata “tangan”dalam wudlu dan tayamum.membasuh
tangan dalam berwudlu dibatasi sampai dengan siku. Allah berfirman:
ياأيهاالذين
أمنوا إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق...
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku...”(Al-Maidah[5]:6). sedang menyapu tangandalam
bertayamum tidak dibatasi,mutlak sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
فتيمّموا صعيدا طيّبا فامسحوا
بوجوهكم وأيديكم منه...
“......maka bertayamumlah dengan tanah yang baik(bersih),sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu....”(Al-Ma’idah[5]:6)
Dalam hal ini, ada yang berpendapat,lafadz yang mutlak
tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya.namun al-Gazali
menukil dari mayoritas ulama syafi’i bahwa mutlak disini dibawa kepada muqayyad
mengingat “sebab”nya sama sekalipun berbeda hukumnya.
3. Sebab
berbeda namun hukumnya sama. dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasan hanya nya hanya
satu.misalnya pembebasan budak dalam hal kafarah.budak yang dibebaskan
disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarat pembunuhan tak sengaja. Allah
berfirman:
وما كان لمؤمن أنْ يقتل مؤمنا
إلا خطئا ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة...
“dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain)
kecuali karena tersalah(tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman....)(an-Nisa’[4]:92)
والذين يظاهرون من نسائهم ثم
يعودون لما قالوا فتحير رقبة من قبل أنْ يتمآسّا...
“Dan orang-orang yang menzihar istri
mereka,kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,maka
(wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isri itu
bercampur...(Q.S.al-Mujadalah : 3 )demikian juga dalam kafarah sumpah :
لايؤا خذكم الله باللغو في
أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقّدْتم الأيْمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما
تطعمون أهليكم أو كسواتهم أوتحرير رقبة...
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah),tetapi ia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja,maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluhh orang
miskin,yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak....(Q.S.al-Maidah
: 89 )
Dalam hal ini segolongan
ulama,diantaranya ulama maliki dan sebagian besar ulama syafi’i,berpendapat
lafaz yang muthlaq harus dibawa kepada yang muqayyad tanpa memerlukan dalil.
Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya “puasa kafarah”
ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah :
فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين
توبة من الله...
“Barang siapa yang tidak memperolehnya,maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari
Allah...”(Q.S.an-Nisa : 92 ).Demikian juga dalam kafarah zhihar,sebagaimana
dijelaskan dalam ayat :
فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين
من قبل أنْ يتمآسّا ...
“Barang siapa yang tidak mendapatkan( budak ),maka (wajib
atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur...”
(Q.S.al-Mujadalah : 4 )
Dalam pada itu puasa
kafarah bagi orang yang mengerjakan haji tamattu ditaqyidkan (dibatasi ) dengan
terpisah-pisah (maksudnya,puasa itu tidak boleh dilakukan secara
berturut-turut). Allah berfirman :
فمن لم يجد فصيام ثلاثت أيام في الحج وسبعة إذا رجعتم
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan ( binatang qurban ataau
tidak mampu ),maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali...”( Q.S.al-Baqarah : 196 ). Kemudian
datang pula ketentuan puasa secara muthlaq tidak ditaqyidkan dengan
berturut-turut atau terpisah-pisah.
3. Sebab berbeda dan Hukum pun berlainan,
seperti “tangan” dalam berwudhu dan dalam pencurian.Dalam
berwudhu,ia dibatasi sampai siku,sedang dalam pencurian dimuthlaqkan,tidak
dibatasi. Firman Allah :
والسارق والسارقة فاقطعوْآ أيديهما
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,potonglah tangan
keduanya...”(Q.S.al-Maidah : 38 )dalam keadaan seperti ini,muthlaq tidak boleh
dibawa kepada muqayyad karena “sebab” dan “hukum”-nya berlainan.Dan dalam hal
ini tidak ada kontradiksi (ta’arrud) sedikitpun.
B. Nasikh Dan Mansukh
As-Suyuti
menyebutkan dalam al-Itqon sebanyak dua puluh satu ayat yang dipandangnya
sebagai ayat-ayat mansukh. Diantaranya adalah :
1.
Firman Allah :
ولله
المشرق والمغرب فاًينما
تولوا فثم وجه الله.
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat ,maka kemanapun
kamu menghadap disitulah wajah Allah.” (Q.S.al-Baqarah : 115).
Dinasakh oleh :
شطر المسجد الحرام –
البقراة فول وجهك
“Maka
palingkanlah mukamu kearah masjidil haram.”(Q.S.al-Baqarah : 144)
Telah dikatakan,dan inilah yang benar,bahwa ayat pertama tidak dinasakh
sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah yang dilakukan saat dalam perjalanan
diatas kendaraan,juga dalam keadaan takut dan darurat.Dengan demikian,hukum
ayat ini tetap berlaku,sebagaimana dijelaskan dalam as-Sahihain.sedang ayat
kedua berkenaan dengan shalat fardu lima waktu.Dan yang benar,Ayat kedua ini
menasakh perintah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2. Firman Allah :
كتب
عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والاقربين.
“Diwajibkan atas kamu,apabila seorang diantaramu
kedatangan (tanda-tanda) kematian,jika ia meninggalkan harta yang
banyak,berwasiat untuk Ibu Bapak dan kerabatnya...(Q.S.al-baqarah : 180).Dikatakan
,ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh hadis,”Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya,maka
tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3. Firman Allah :
وعلى الذين يطيقونه فدية...
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika
mereka tidak berpuasa)membayar fidyah...(Q.S.al-Baqarah : 184 ).Ayat ini
dinasakh oleh :
فمن
شهد منكم الشهر فليصمه.
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan
ramadhan,hendaklah ia berpuasa...”(Q.S.al-Baqarah : 185).Hal ini berdasarkan
keterangan dalam as-Sahihain,berasal dari Salamah bin Akwa, ketika turun surah
al-Baqarah ayat 184 maka orang yang ingin tidak berpuasa,ia membayar
fidyah,sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasakhkannya.”
Ibnu Abbas berpendapat, ayat
pertama adalah muhkam,tidak mansukh.Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Ata,bahwa
ia mendengar Ibnu Abbas membaca :”Dan bagi mereka yang kuat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,memberi makan seorang miskin.”
Ibnu Abbas mengatakan,ayat ini tidak dimansukh,tetapi tetap berlaku bagi mereka
yang telah lanjut usia yang tidak lagi sanggup berpuasa.Mereka boleh tidak
berpuasa dengan memberikan makanan kepada seoarang miskin setiap harinya.Dengan
demikian,maka ma’na يطيقونه
bukanlah يستطيعونه (sanggup menjalakannya).Tetapi ma’nanya ialah “mereka
sanggup menjalankannya dengan sangat susah payah dan memaksakan diri”.
Sebagian ulama
berpendapat,ayat tersebut mengandung لا النافية (huruf yang menyatakan “tidak”) sehingga artinya ialah : وعلى الذين لا يطيقونه )dan wajib bagi orang-orang yang tidak sanggup puasa...)
C. ‘Amm dan Khass
- Pengertian ‘Amm
‘Amm adalah lafadz yang menghabiskan atau mencakup segala
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.Sebagian ulama berpendapat,di
dalam bahasa terdapat sigat-sigat tertentu yang secara hakiki dibuat untuk
menunjukan makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainya. Untuk
mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil
nassiyah, ijma’iyyah dan ma’nawiyah.
1. Dalil nassiyah
ialah firman Allah :
ونادى نوح ربه فقال رب إن ابني
من أهلى وإن وعدك الحق وأنت أحكم الحاكمين,قال يانوح إنه ليس من أهلك.
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhan-ku,sesungguhnya
anakku termasuk keluargaku,dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.Dan
Engkau adalah Hakim paling adil”.Allah berfirman : “Hai Nuh,sesungguhnya ia
tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”(Q.S.Hud :
45-46).
Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh
menghadap kepada Allah dengan permohonan tersebut karena Ia berpegang kepada
ayat : إنا منجوك وأهلك
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan
keluargamu.”(Q.S.al-‘Ankabut : 33).Allah membenarkan apa yang dikatakan
Nuh.Karena itu Ia menjawab dengan pernyataan yang menunjukan bahwa anaknya itu
tidak termasuk keluarga.Seandainya idafah (penyandaran)kata “keluarga”kepada
“Nuh” (keluargaku,keluarga Nuh) tidak menunjukan makna umum,maka jawaban Allah
tersebut tidak benar.
2. Dalil Ijma’iyah ialah ijma’
(konsesus) sahabat bahwa firman Allah :
الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد
منهما مائت جلدة.
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera”.(Q.S.an-Nur : 2).
والسارق والسارقة فاقطعوآ
أيديهما.
“Dan laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri,potonglah tangan keduanya.”(Q.S.al-Ma’idah : 38).
3. Dalil Ma’nawiyah ialah bahwa
makna umum itu dapat difahami dari penggunaan lafadz-lafadz tertentu yang
menunjukan demikian.Andaikata lafadz-lafadz tersebut tidak dibuat untuk makna
umum tentu akan sukar bagi akal memahaminya.Misalnya lafadz-lafadz
syarat,istifham (pertanyaan) dan mausul.
Pengertian Khass
Khass adalah lawan kata ‘amm,karena ia tidak menghabiskan
semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.Takhsis adalah mengeleuarkan
sebagian apa yang dicakup lafadz ‘amm.Dan mukhassis (yang mengkhususkan)
adakalanya muttasil,yaitu yang antara ‘amm dengan mukhassis tidak dipisah oleh
sesuatu hal,dan adakalanya munfasil,yaitu kebalikan dari muttasil.
Mukhassis ada lima macam :
a).Istisna’ (pengecualian),seperti
firman Allah :
والذين يرمون المحصنات ثم لم
يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلوا لهم شهادة ابدا وأولئك هم
الفاسقون إلاالذين تابوا...
" Dan
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka
tidak bisa mendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka delapan puluh
kali,dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk
selama-lamanya”.(Q.S.an-Nur : 4-5).
b).Sifat,misalnya :
وربائكم اللاتي في حجوركم من
نّسائكم اللّاتي دخلتم بهنّ...
(Q.S.an-Nisa : 23).Lafadz “al-lati dakhaltum bihinna”
adalah sifat bagi lafadz “nisa’ukum”.Maksudnya,anak perempuan istri yang telah
digauli itu haram dinikahi oleh suami,dan halal bila belum menggaulinya.
c). Syarat,Misalnya :
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت
إنْ ترك خيرا الوصية للوادين والاقربين
باالمعروف حقّا على المتكين.
(Q.S.al-Baqarah : 180).Lafadz “in taraka khairan” (jika ia meninggalkan
harta)adalah syarat dalam wasiat.
d). Gayah (batas sesuatu),seperti dalam :
ولا تحلقوا رؤسكم حتى يبلغ الهدي
محلّه...
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu,sebelum menyembelih
hewan (Had) sampai ditempat penyembelehannya”.(Q.S.al-Baqarah : 196)
e). Badal ba’d min kull (sebagian yang menggantikan keseluruhan).Misalnya :
ولله على الناس حج البيت من
استطاع إليه سبيلا...
(Q.S.al-Imran : 97).Lafadz “man istata’a” adalah badal dari “an-nas”.Maka
kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Mukhassis munfasil adalah mukhassis yang terdapat ditempat lain,baik
ayat,hadis,ijma’ ataupun qiyas.Contoh yang ditakhsis oleh Qur’an ialah :
والمطلقات يتربّصن بأنفسهنّ
ثلاثت قروء...
(Q.S.al-Baqarah : 228).Ayat ini
adalah ‘amm,mencakup setiap istri yang dicerai baik dalam keadaan hamil maupun
tidak,sudah digauli maupun belum.Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat :
وؤلات أحمال أجلهنّ أنْ يضعْن حملهنّ...
(Q.S.at-Talaq : 4). dan firmannya :
إذا نكحتم
المؤمنات ثم طلقتموهنّ من قبل أنْ تمسوهنّ فما لكم عليهنّ من عدة
(Q.S.al-Ahzab : 49).
- Macam-macam takhshish:
a.
Mentakhshish ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru.(Al-Baqarah:228).
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku
umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish
dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.(At-Thalaq:4)
Dapat pula ditakhshish dengan surat
Al-Ahzab:49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.(Al-Ahzab:49).
Dengan demikian keumuman bagi setiap
wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita
yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
b. Mentakhshish Al-Qur’an dengan
As-Sunnah. Misalnya firman Allah dalam Al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai).(Al-Maidah:38).
Dalam ayat di atas tidak disebutkan
batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda
Nabi SAW:
لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . (رواه الجماعة
“Tidak ada hukuman potong tangan di
dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang dari seperempat dinar”.
(H.R. Al-Jama’ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah
bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si
pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
c.
Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya hadits
Nabi SAW yang berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam
Al-Maidah ayat 6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih). (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang
keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan
tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di
atas.
d.
Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Misalnya hadits
Nabi SAW:
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada tanaman yang disirami oleh air
hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alayh).
Dari kedua hadits di atas jelaslah
bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima
watsaq.
e.
Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.
Contohnya:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum’ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban
shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’)
bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.
f.
Mentakhshish Al-Qur’an dengan qiyas. Misalnya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.
(An-Nur:2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish
oleh An-Nisa’ ayat 25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ
Apabila mereka telah menjaga diri
dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
(An-Nisa’:25).
Ayat di atas menerangkan secara
khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera
yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak
laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh
kali dera.
g.
Mentakhshish dengan pendapat sahabat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
takhshish hadits dengan pendapat sahabat tidak diterima. Sedangkan menurut
Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabt itu yang meriwayatkan
hadits yang ditakhshishnya. Misalnya:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ . متفق عليه .
“Barangsiapa menggantikan agamanya
(dari agama Islam ke agama lain, yaitu murtad), maka bunuhlah dia”. (Muttafaq
Alayh).
Menurut hadits tersebut, baik
laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas
(perawi hadits tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak dibunuh,
hanya dipenjarakan saja.
Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur
Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai
dengan ketentuan umu hadits tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish
keumuman hadits di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita,
kata Jumhur Ulama, adalah lafadz-lafadz umum yang datang dari Nabi. Di samping
itu, dimungkinkan bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.
D.
Asbabun Nuzul
a.
Pengertian asbabun nuzul
Asbabun nuzul menurut bahasa berasal dari dua kata asbabun
dan nuzul.Asbabun merupakan bentuk jama’ dari sababun yang
berarti sebab,jika dibaca jama’ maka artinya menjadi sebab-sebab.Sedangkan
nuzul bentuk masdar dari nazala-yanzilu-nuzuulan yang berarti turun,maka dari
segi bahasa dapat berarti sebab-sebab turunnya sesuatu.
Menurut Mahmud Yunus asbabun nuzul ialah pengetahuan
tentang sebab-sebab diturunkannya ayat.[2]
Menurut Imam Az-zarqoni suatu kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu,atau
menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.[3]
Menurut Shubhi Sholeh sesuatu yang menyebabkan satu atau
beberapa ayat yang memberikan jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan
hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.[4]
b. Macam-macamnya (berdasarkan bentuk)
1. Tanggapan atas peristiwa umum
Misalnya Ibnu Abbas menyebutkan,Rasulullah SAW. pernah ke
Al-batha,ketika dari gunung beliau berseru.”Hai para
sahabat,berkumpulah.”ketika melihat,orang-orang quraisy ikut mengelilinginya
beliau bersabda,”apakah eng
kau akan percaya bila aku katakan bahwa musuh tengah mengancam kita dari
balik punggung gunung dan beberapa siap menyerang kalian.
تبّتْ يدا أبي لهب وتبّ (۱) ما أغنى عنه ماله
وماكسب (۲) سيصلى نارا ذات لهب
(۳) وآمرأته حمالة الحطب (۶) في جيدها حبل من مّسد (۵)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya Dia
akan binasa.Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang Ia usahakan.Kelak
Dia akan masuk kedalam api yang bergejolak.Dan (begitu pula)istrinya,pembawa
kayu bakar.Yang dilehernya ada tali dari sabut.(Q.S.Al-Lahab :1-5)
2. Tanggapan atas
peristiwa khusus
إن الصفاوالمروة من شعائر الله
فمن حج البيت أو اعْتمر فلا جناح عليه أنْ يطوف بهما و من تطوع خيرا فإنّ الله شا
كر عليم..
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi’ar Allah.Maka barangsiapa yang berhaji ke Baitullah atau ber Umroh.Maka
tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.Dan barangsiapa yang
mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati,maka sesungguhnya Allah maha
mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui.(Q.S.al-Baqarah : 158)
3. Jawaban atas
pertanyaan nabi kepada Allah swt.
وما نتنزّل إلا بأمر ربك له ما
بين أيدينا وما خلفنا وما بين ذالك وما كان ربّك نسيّا
"Dan tidaklah Kami (Jibril) turun,kecuali dengan perintah
Tuhanmu.kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada dihadapan kita,apa-apa yang ada
dibelakang kita dan apa-apa yang ada diantara keduanya,dan tidaklah Tuhanmu
lupa".(Q.S.Maryam : 64)
4. Tanggapan atas
peristiwa yang bersifat umum
ويسئلونك عن المحيض قلْ هو أذى
فاعتزلوا النساء فى المحيض ولا تقربوهنّ حتى يطهرْن.فإذا تطهّرن فأْتوهنّ منْ حيث
أمركم الله,إنّ الله يحبّ التواّبين ويحبّ المتطهرين.
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh,katakanlah :”Haidh
itu adalah suatu kotoran”.Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita diwaktu haidh,dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka
suci.Apabila mereka telah suci,maka campurilah mereka itu ditempat yang
diperintahkan Allah kepadamu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(Q.S.al-Baqarah : 222)
5. Tanggapan terhadap
orang-orang tertentu.
لا تحركْ به لسانك لتعْجل به
(١٦) إنّ علين جمعه وقرءانه (٧ ١) فإذا قرأْناه فاتبعْ قرءانه (٨ ١)
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.Sesunggunya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu)dan (membuatmu pandai)membacanya.Apabila kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.(Q.S.al-Qiyamah : 16-18)
6. Beberapa sebab tapi
satu wahyu.
قلْ هو الله أحد (١) الله الصمد
(۲) لم يلد ولم يولد (۳) ولم
يكن له كفوا أحد (۴)
“Katakanlah :”Dia-lah Allah,yang maha Esa,Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu.Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakan,dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia.(Q.S.al-Ikhlas : 1-4)
7. Beberapa wahyu
tetapi satu sebab.
ولا تتمنّوْا ما فضّل الله به بعضكم على بعض للرجال نصيب مما اكتسبوا
ولنّساء نصيب مما اكتسبْن وسئلوا الله من فضله إن الله كان بكل شيء عليما..
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain.(karena)bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan,dan
bagi orang perempuan ada bagian apa yang mereka usahakan,dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya.Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala
sesuatu".(Q.S.an-Nisa : 32)
c.
Redaksi asbabun nuzul
Adapun bentuk redaksi asbabun nuzul itu bermacam-macam
diantaranya adalah :
Redaksi
yang pertama adalah :
berupa pernyataan tegas mengenai sebab turunnya ayat,hal tersebut telah
diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang mengatakan tentang ayat “istri-istri kamu
adalah ibarat tanah tempat bercocok tanam”.(Q.S.al-Baqarah : 223)yang
berhubungan dengan menggauli istri
Jika kita melihat riwayat diatas lalu kita kaitkan dengan
pernyataan yang pertama ini maka ayat terebut turun ketika terjadi peristiwa
pada waktu sebagaimana waktu itu sayyidina Umar R.A menanyakan hal tersebut
kepada Rasulullah saw. Lalu turunlah ayat diatas sebagai jawabannya.Yang
demikian itu periwayat mengatakan “telah terjadi peristiwa
Redaksi
yang kedua adalah,
menerangkan asbabun nuzul hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat
ataupun yang lainnya.bila perawi mengatakan :”ayat ini turun mengenai ini” juga
“saya kira ayat ini turun mengenai hal ini” yang mana dalam hal ini
diriwayatkan oleh abdullah bin zubair, dimana zubair pernah mengajukan gugatan
kepada kaum anshor mengenai masalah pengairan dalam berkebun (irigasi)......
lalu diakhir riwayat zubair mengatakan :”aku tidak mengira ayat tersebut turun
kecuali mengenai urusan tersebut”.
فلا وربك لايؤمنون حتى يحكمّوْك
فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلّموا تسليما.
“Maka demi tuhanmu,mereka pada hakikatnya tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan,kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan
sepenuhnya”.[Q.S.An-nisa:65].setelah kita melihat peristiwa atau riwayat tadi
dan kita kaitkan dengan pernyataan kedua lain halnya dengan pernyataan yang
pertama, yaitu redaksi yang ditinjau dari segi peristiwa apa yang terjadi
sehingga ayat turun, sedangkan redaksi yang kedua yaitu asbabun nuzul dilihat
dari kontekstualnya atau isi ayat tersebut. Ayat tersebut turun dalam hal apa
atau mengenai hal apa? Jadi, yang menjadi stressingnya adalah dari segi isi
kandungan ayat yang diturunkan.
Redaksi
yang ketiga adalah,
asbabun nuzul diturunkan sesudah adanya pertanyaan.
Sebagaimana dalam surat albaqarah dijelaskan tentang
maslah khomr.[5]
يسئلونك عن الخمر والميسر قلْ
فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما ويسئلونك ماذا ينفقون قلْ
العفو كذالك يبين الله لكم الآيت لعلكم تتفكرون..
“Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi.
Katakanlah :”pada keduanya itu terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa’at
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa’atnya”. Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari
keperluan”.demikianlah Allah menerangkan ayat-ayanNya kepadamu supaya kamu
berfikir.[AL-Baqoroh:219]
Yaitu redaksi ini menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan
redaksi asbabun nuzul yang turun ketika jatuh sebuah pertanyaan kepada
rosululloh dan redaksi ini hmapir sama dengan redaksi yang pertama, akan tetapi
dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah suatu ayat turun sesudah pertanyaan
bukan dalam hal terjadinya suatu kejadian pada saat itu lalu dipertanyakan oleh
rosululloh S A W.
·
Sebab- Sebab Turunnya Ayat
Ayat alqur’an yang berkenaan dengan hukum diturunkan oleh
rosululloh SAW. Untuk menjadi keterangan bagi suatu perkara yang telah terjadi
dan kejadian yang terjadi sebelum alqur’an diturunkan dinamai sebab sebab
turunya ayat atau asbabun nuzul ma’nanya ialah kejadian yang menyebabkan
diturunkanya ayat alqur’an untuk menerangkan hukumnya dihari dimana timbul kejadian tersebut dan suasana
serta sesudahnya terjadi sebab itu ataupun kkemudian karena sebab hikmah.
·
Faedah-faidah mengetahui asbabun nuzul :
1.mengetahui hukum allah secara tertentu terhadap apa
yang disyari’atkanNya.
2.menjadi penolong dalam memahami ma’na ayat dan
menghilangkan kemusykilan-kemusykilan disekitar ayat itu.
Ibnu Taimiyah berkata:”mengenai asbabun nuzul membantu
kita dalam memahami ma’na ayat, karna dapat diketahui bahwa mengetahui sebab
menghasilkan ilmu tentang musabbab,sebaliknya tidak mengetahui sebab
menimbulkan keraguan-keraguan dan kemusykilan dan mendapatkan nas-nas yang
lahir ditempat musytarok, lantaran itu terjadi ikhtilaf.
·
Jalan-jalan mengetahui asbabun
nuzul :
Jalan mengetahui asbabun nuzul adalah dengan riwayat dan penjelasan dari
orang yang turut menyaksikan suasana turun ayat. Dapat kita ketahui asbabun
nuzul apabila ayat itu diriwayatkan sesudah nabi menerima sesuatu pertanyaan,
tetapi perkataan pada mufassirin, “ayat ini turun pada.... demikian”,tidak
tegas menunjukan kepada sebab maka qormah-qormahlah yang mencantumkan salah
satu kemungkinan itu.dan terkadang asbabun nuzul itu banyak tetapi dapat disatukan.
Tentang sebab-sebab turun ayat ini telah diperhatikan dan
diselidiki benar oleh sebagian para mufassirin. Mereka telah menyusun beberapa
kitab yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat. Para mufassirin memandang bahwa sebab-sebab turunya ayat ini
adalah asas dalam memahamkan ayat alqur’an dan terkadang ayat diturunkan untuk
menjawab suatu pertanyaan yang dikemukakan oleh sebagian sahaba
E.
Qira’at
A.
Pengertian qira’at
Secara bahasa kata qira’aat berasal dari bentuk jama’
kata qiro’atun yang berarti “baca’an” kata tersebut merupakan bentuk masdar
dari fiil madi qoro’a. Secara istilah, ilmu qira’at adalah “ilmu yang mengenai
cara melafadzkan al-Qur’an yang disertai perbedaan pembacaanya menurut versi
orang yang mengucapkanya.terdapat beberapa devinisi mengenai arti Qira’at
yakni:
1.
menurut Al-Zarqani
مذهب يذهب إليه إمام من أمة
القراء مخالفة به غيره في النطق بالقرءان الكريم مع التفاق الروايات والطرق عنه
سواه أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئاتها
“suatu madzhab/cara dalam
mengucapkan ALQur’an AL-kariim yang diikuti oleh seorang ahli qira’at yang
berbeda dengan ahli qira’at lainnya, dimana riwayat dan jalan memperolehnya
sama, perbedaan itu baik menyangkut dalam pengucapan suatu huruf atau dalam
pengucapan bentuknya”. Terkandung 3 unsur pokok dalam
devinisi tersebut: pertama, qira’at dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat
alqur’an, cara membacanya dari satu imam dengan imam qira’at yang lain.kedua,
cara bacaan yang dianut dalam suatu madzhab qira’at didasarkan atas riwayat dan
bukan atas qitas atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qira’at-qira’at bisa
terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan.
2. Menurut Ibnu
Al-Jazari:”pengetahuan tentang cara-cara melafadzkan kalimat-kalimat AL-Qur’an
dan perbedaannya dengan membangsakannya pada penukilnya.[walid,2002:138]
3. Menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal
al-qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf
tersebut, seperti takhfif,tasydid, dan lain-lain.
Qira’ah secara bahasa adalah jama’ dan masdar dari
qiro’atun yang artinya bacaan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu madhab
aliran bacaan alqur’an yangdipilih oleh salah satu imam quro’sebagai suatu
madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Ilmu qira’at adalah ilmu yang lahir pada masa yang
sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang yang pertama menyusunya adalah abi
ubaid al-qosim ibnu sallam.Abu Hatim as-Sajistany,Abi ja’far Thabary dan Ismail
al-Qadly.
B.
Syarat diterimanya qira’at
Para ulama menetapkan syarat sah diterimanya qira’at:
1. sesuai
dengan kaidah tata bahasa arab
2. Sesuai
dengan tulisan pada salah satu mushaf usmani walaupun hanya tersirat
3. Shahih
sanadnya, sebab qira’at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada
keselamatan penukilan dan keshahihan riwayat.
Imam as-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata diatas perlu
ditinjau kembali. Yang pertama untuk berbicara dalam bidang ini adalah tokoh
qurro’ pada masanya yang bernama Syaikh Abu al-Khair ibnu al-Jazary dimana beliau
mengatakan dalam muqoddimah kitabnya annasyr. “semua qira’at yang sesuai dengan
bacaan arab walaupun hanya satu segi saja dan sesuai dengan salah satu mushaf
utsmany walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar,
makaqira’at tersebut adalah shahih
[benar], yang tidak ditolak dan haram menentangnya.
bahkan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh dimana
Al-qur’an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbulnya
dari imam yang tujuh maupun dari imam yang sepuluh atau yang lainnya asal bisa
diterima. apabila salah satu persyaratan dari tiga tersebut diatas tidak terpenuhi,
maka qira’at iu dikatakan qira’at yang syadz atau batil. Baik datangnya dari
aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat
yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun kholaf.
Pengarang kitab at-Thayyibah dalam memberikan batas
diterimanyaqira’at mengatakan: “setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu, mirip
dengan tulisan mushaf utsmany, benar adanya itulah bacaan. Ketiga sendi ini,
bila rusk salah satunya menyatakan itu cacat, meski dari
qira’at sab’ah datangnya.
C. Macam-macam qira’at ditinjau dari segi kualitas.
a. mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar
periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang
seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya yakni rosulloh saw.
Contohnya;
مالك يوم الدين...
b. masyhur,yaitu qiraat yang shahih sanadnya tetapi tidak
mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan qaidah bahasa arab dan rasam usmany.
c. ahad,yaitu qira’at yang shahih sanadnya tapi menaylahi
rasm usmany, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidak tekenal.contohnya adalah
yang diriwayatkan oleh hakim dari jalur Ashim L-Juhdari dari Abu Bukroh dari
Rosululloh saw :
متكئين على رفاف خضر وعبقري
حسن...
“Mereka bersandar pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang
indah”. Dan diriwayatkan oleh ibnu abbas bahwa ia membaca : لقد جائكم رسول من أنفسكم "telah datang kepada kalian seorang Rasul dari yang paling
terhormat diantara kalian”.Dengan membaca fatihah pada huruf fa’.
d. Syadz,
yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya.contohnya adalah
ملك يوم الدين
dengan fiil madhi dan dibaca nashab pada kalimat yaum.
e.
Maudu’, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya
f. Mudraj,
yaitu yang ditambahkan dalam qira’at sebagai penafsiran.
Contohnya qira’ah sa’ad bin abi Waqosh :
وله أخ أخت من
أم
“Dan dia memiliki saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu”.yang
diriwayatkan oleh said bin mansyur.qiroah Ibnu Zubair:
ولتكم منكم أمة يدعون إلى الخير
ويأْمرون بالمعروف وينهون عن المنكر ويستعينون بالله على ماصابهم..
“dan hendaklah diantara kalian ada segolongan orang yang
menyeru pada kebaikan,(menyuruh) berbuat yang ma’ruf,dan mencegah dari yang
munkar serta meminta pertolongan kepada Allah.”(Q.S.an-Nisa : 104). Umar
berkata : “Aku tidak mengetahui apakah itu merupakan qiro’ahnya atau
tafsirnya”.Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur,al-Anbari meriwayatkannya
darinya dan Dia menegaskan bahwa itu adalah tafsir darinya”.[6]
Keempat macam qira’at ini tidak
boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu
mutawatir.Dan yang tidak mutawatir tidak boleh dibaca didalam maupun diluar
shalat.
- Macam-macam qira’at ditinjau dari segi kuantitas
Ada tiga macam yaitu[7]
:
a. Qira’at sab’ah
Adalah qira’at yang dinisbatkan kepada Imam yang tujuh dan terkenal,
yaitu :
1. Imam Nafi’
Nama lengkapnya Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu
Nu’aim,lahir tahun 70 H dan wafat tahun 169 H.Perawinya adalah qalun dan
warsyi.
2.
Ibnu Katsir
Nama lengkapnya Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir
al-Makki,lahir pada tahun 45 H dan wafat dimekkah tahun 120 H.Perawinya adalah
al-Bazzi dan Qanbul.
3. Abu Amr
Nama lengkapnya Zabban bin al-‘Ala bin Ammar,lahir tahun
68 H dan wafat tahun 154 H.Perawinya adalah ad-Duri dan as-Shusi.
4. Ibnu ‘Amir
Nama lengkapnya Abdullah bin ‘Amir al-Yahsabi,lahir 21 H
dan wafat di Damaskus tahun 118.Perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
5. ’Ashim
Nama lengkapnya Abu Bakar bin Abun Najud al-Asadi,wafat
dikufah tahun 128 H.Perawinya Syu’bah dan Hafs.
6. Hamzah
Nama lengkapnya Hamzah bin Hubaib az-Zayyat.Perawinya adalah Khalaf dan
Khallad.
7. al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abul Hasan Ali bin Hamzah al-Kisa’i.
Perawinya Abu al-Haris dan ad-Duri.
- ’asyarah
Adalah qira’at tujuh di tambah dengan qira’at:
1. Abi ja’far
Nama lengkapnya Yazid bin AL-Qo’qo’. Perawinya adalah
Ibnu Wirdan dan Ibnu Jammaz
2. Ya’qub
Nama lengkapnya adalah Abi Muhammad Ya’qub bin Ishaq
Al-Khadromi.perawinya adalah Rauh dan Ruwais
3. khalaf
Nama lengkapnnya telah disebutkan diatas sebagai perawi
imam Hamzah. Perawinya adalah Ishaq dan Idris.
B. Arba’ata ‘Asyara
Adalah qira’at sepuluh ditambah empat qira’at
1. Hasan
al-Bashry
2. Ibnu
Mahish
3. Yahya
al-Yazidy dan asy-Syambudz
Qira’at ada yang mengartikan qira’at sab’ah,qira’at
sepuluh dan qira’at empat belas. Semuanya yang paling terkenal dan kedudukannya paling
tinggi ialah qira’ah sab’ah
DAFTAR PUSTAKA
Al_zarqani. Manahil
al-Irfan fi ‘Ulum AL-Qur’an, Dar al-Fikr.
Ali as-shabuni, muhammad, At-tibyan fi
uluumil qur’an. Maktabah daar
ihyaa al-kutubi al’arabiyah.
Al-Qaththan, Manna Khalil, Mabahis Fii
uluumil Qur’an, Beirut :
Risalah Publisher,1998.
As-suyuti, Jalaludin, Al-Itqan Fii
Ulumil Qur’an, Daar al-Fikr, Beirut.2008
Fathoni, Ahmad, Kaidah Qira’at
Tujuh menurut Thariq Syatibiyyah, PTIQ dan IIQ. Jakarta. 2005
Hasbi as-Shiddiqy, Tengku Muhammad, Prof.Dr.Sejarah
pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang. PT. Pustaka Rizki Putra. 1997.
Mahmud Yunus, kamus arab indonesia, jakarta: yayasan
penyelenggara penerjemah al-qur’an.1973.
Shubhi as-Sholih, Manahil
al-Irfan fi ‘Ulum AL-Qur’an, Dar al-Fikr.
[1]
Fathoni, Ahmad, Kaidah Qira’at Tujuh menurut Thariq Syatibiyyah, PTIQ dan IIQ. Jakarta. 2005, hlm: 35
[2]
Mahmud Yunus kamus arab
Indonesia,jakarta:yayasan penyelenggara penerjemah al-quran 1973 Hal.16
[3] Al-Zarqoni.op.cit.Hal 132
[4] Shubhi Sholeh.op.cit.Hal
[5] Tengku muhammad hasby
ash-shiddieqy,prof.DR sejarah dan pengantar ilmu alqur’an dan tafsir. Semarang
PT. Pustaka rizki putra.1995.hal.66
[6]
As-Suyuti,al-Itqon fi ulumil qur’an
(terjemah).hal.370
Tidak ada komentar:
Posting Komentar