Filsafat
dan Konsep Ketuhanan Menurut Al-Kindi
A. Pendahuluan
Al-Kindī (185-260 H)
dikenal sebagai filosof muslim yang berusaha mengkompromikan antara teori
filsafat dan agama dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang benar (knowledge
of the truth)[1]. Ia dikenal sebagai filosof yang pertama
kali membwa sistem pemikiran yang berdasarkan logika filsafat Yunani[2]. Tujuan filsafatnya adalah mencari yang
benar. Mencari yang benar itu menurut al-Kindī tidak lain sama halnya dengan
yang dipraktikkan dalam mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu yang benar
abolut ini bagi al-Kindī adalah pengkajian konsep Tuhan.
Konsep ketuhanan
al-Kindī dibangun atas dasar metafisika. Hal ini yang membedakan dengan filosof
Yunani, Aristoteles. Dalam beberapa hal, doktrin-doktrin
filosofisnya dan segi peritilahan, al-Kindī mengadopsi dari Aristoteles, akan
tetapi hal tersebut tidak diambil secara penuh oleh al-Kindī, akan tetapi
diadapsi dan disaring sehingga hasil ijtihadnya berbeda dari sumber asalnya.
Maka, konsep-konsep
yang lainnya yang diturunkan dari konsep Tuhan akan hadir dalam bentuk berbeda
pula. Filsafat al-Kindī memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan
membedakan baik dengan Aristoteles maupun filosof muslim setelahnya. Bahkan
filasafat al-Kindī memiliki corak sendiri. Orientasi Filsafat, tentang Keesaan
Tuhan, teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan dengan
filsafat Yunani.
Meskipun begitu,
pemikiran al-Kindī yang dikatakan mirip dengan sistem rasionalitas Mu’tazilah
mendapat kritikan oleh para ulama’. Karyanya yang berjudul Risālah fi
Hudūd al-Asyya’ yang berbicara eksistensi alam yang dianggap bersumber
dari tradisi Yunani dan adapsi Mu’tazilah ditentang kaum muslim[3]. Walau begitu, beberapa pemikirannya
tetap perlu diapresiasi terutama yang memberi sumbangan kepada sains Islam,
seperti teori optikanya yang dirujuk oleh ilmuan Barat, Roger Bacon,
yang diterjemahkan ke bahasa latin[4]. Secara khusus, tulisan ini mengkaji
konsep ketuhanan menurut al-Kindī, sebelum itu, akan dipaparkan terlebih dahulu
latar belakang sosial-intelektual al-Kindī.
Latar Belakang Intelektual al-Kindī
Nama lengkap al-Kindī adalah Abū Yūsuf
Ya'qūb bin Ishāq Al-Kindī. Dilahirkan di kota Kufah pada tahun 800 M.
Ia berasal dari kalangan bangsawan dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah,
hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 876 M. Ia merupakan seorang
tokoh besar dari bangsa Arab yang mempelajari filsafat Aristoteles. Al-Kini
mendapat julukan Filosof Arab. Filsafat Aristoteles telah mempengaruhi
konsep Al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran terutama di bidang, sains dan
psikologi. Beberapa karya filosof Yunani ia terjemahkan ke dalam bahasa Arab[5].
Ia
termasuk filosof Muslim ensiklopedis. Selain filsafat, Al Kindī menulis
banyak karya lain dalam berbagai bidang; geometri, astronomi, astrologi,
aritmatika, musik (yang dibangunnya dari berbagai prinsip aritmatis), fisika,
medis, psikologi, meteorologi, dan politik[6]. Ibn Abī Usaibi’ah (w.668 H)
penulis Tabaqāt al-Atibbā’ mencatat al-Kindi sebagai salah
satu dari empat penerjemah mahir pada era gerakan penerjemahan, selain Hunayn
bin Ishāq, Tabit bin Qurrah dan Umar bin Farkhan al-Tabari. Al-Kindī tidak
hanya menerjemah karya Yunani, tapi ia mengadapsi menjadai karya pemikirannya
tersendiri. Ibn al-Nadzim dan al-Qafthi menulis bahwa karya al-Kindī ada
sekitar 238 karya risalah. Şa’id al-Andalusi menyebut karya al-Kindī sekitar 50
buah. Akan tetapi sebagian besar karangannya tidak sampai kepada kita.
Karya-karya al-Kindī tidak hanya satu aspek, akan tetapi meliputi filsafat,
logika, musik, aritmatika. Karya-karya itu kebanyakan karangan pendek[7].
Al-Kindī
mengawali aktivitas intelektualnya di dua kota besar Irak, Kufah dan Basrah. Ia
menghafal al-Qur’an, mempelajari tata bahasa Arab, sastra, matematika, fikih,
ilmu kalam. Ia tertarik dengan ilmu filsafat setelah pindah ke Baghdad.
Karya-karya filsafat Yunani ia kuasai setelah ia menguasai bahasa tersebut. Ia
juga memperbaiki karya terjemahan bahasa Arab seperti, Enneads-nya
Plotinus oleh al-Hims. Kegiatan filsafat Al-Kindi yang berpusat di sekitar
gerakan penerjemahan yang sudah dimulai dan didukung oleh khalifah Abbasiyah,
yaitu al-Mu’taşim. Tampaknya sang Khalifah menjadi mediator antara
penerjemah dan para ahli yang benar-benar melakukan menerjemahkan, banyak dari
mereka adalah orang Kristen Suriah atau dari Suriah[8]. Tulisannya sendiri bisa dianggap sebagai
sebuah perkenalan yang berkelanjutan dimaksudkan untuk mengenalkan pemikiran
Yunani untuk abad kesembilan kepada kaum muslim kontemporer.
Intelektualitas
al-Kindī termasuk diakui tidak hanya dunia timur, akan tetapi Barat juga
mengapresiasi karyanya. Beberapa karangannya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Geran. Karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
ini mempengaruhi tradisi keilmuan Eropa pada abad pertengahan. Beberapa karya
al-Kindī baik yang ditulis sendiri atau oleh orang lain adalah; Kitab
Kimiya’ al-‘Ithr, Kitab fi Isti’māl al-‘Adad al-Hindī, Risālah fī al-Illah
al-Failai al-Madd wa al-Fazr, Kitāb al-Şu’aat, The Medical Formulary of
Aqrabadhin of al-Kindi, al-Kindi’s Metaphysics: a Translation fo Yaqub ibn
Ishaq al-Kindi’s Treatise “On First Philosophy” [9].
Harmonisasi Filsafat dan Agama
Menurut al-Kindī filsafat adalah ilmu
pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Konsepsi filsafat
al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi
tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan
filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang
paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya
paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan,
dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah)”[10]. Sedangkan ilmu filsafat yang
paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah Filsafat yang Pertama (Falsafah
al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al- Ūlā yang
menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’) yang tidak lain
adalah Tuhan Allah SWT[11].
Pada
asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti,
bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya
adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar
keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan
agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama,
ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada
Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara
logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari
filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat[12].
Bagi
al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan
pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori
penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat
meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli
dalih-dalih para filsuf[13].
Dengan
pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian
dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari
Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan
filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan
mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at
dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik
belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab
untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk
tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa
Rusūmihā[14].
Karena
asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat
mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan
memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi.
Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian
kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan
juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan
falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam
beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi
Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan
dari ketiadaan.
Jika konsep kunci
(konsep Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti pandangan
hidup (worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep
lahir dari worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori
tersebut jika pandangannya tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan,
percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan
moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan
menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia[15].
Dalam konteks
epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran yang
utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah memasuki
konteks ini. Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian. Ia
mengatakan filsafat yang pertama (al-Falsafah al-Ūlā) adalah pengetahuan
kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran[16].
Sang Penyebab semua
sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī adalah membahas
soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat
yang dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa
antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan “Falsafah
yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu
tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”.[17] Hal ini yang membedakan dengan
orientasi filafat Aristotele, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena
yang wujud memiliki kebenaran. Berarti, orienatasi filsafat al-Kindī adalah
metafisik sedangan Aristotele adalah dibangun di atas teori fisika.
Pemikiran al-Kindī Tentang Konsep Tuhan
Tuhan
menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa,
Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia
hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti
banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan.
Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat
pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq
al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua
kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian
tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk
itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat
metafisika, dan konsep Tuhan[18].
Argumentasi
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab
kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah
sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab
dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.
Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga
konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan.
Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus
ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari
segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini[19].
Pertama-tama
al-Kindī menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya
sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang
jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya
adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal).
Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni
hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genusdan spesies.[20]
Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah,
karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga
tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk
genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia
Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī
berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan
keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari
sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari
banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari
individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia
beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian,
bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus
ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab
itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang
Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Wujud
Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud,
eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh
akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi,
sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap
oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang
dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki
sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa
ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan
akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek
penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh
Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa
sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan
ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia[21].
Tidak
seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan
penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh.
Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan
tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah). Disini Tuhan tidak
diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak,
sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan
dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan
al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[22]
Al-Kindī
menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi
penyebab dan
bertindak aktif.
Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang
metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti.
Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia
membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam
tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses
keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang
terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah
adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain
sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep
penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi.
Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan[23].
Namun,
analisis secara umum al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah
pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah
konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi
al-Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam
menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles
alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah
alam, dalam arti alam atas tadi[24].
Alam
atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan
dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam
ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar
substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek
dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka
setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam
waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia.
Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal[25].
Sedang
alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh
waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed
Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak
Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena
setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan
terbilangnya dzat[26].
Teori
keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik
setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan.
Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan
tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas
materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk,
ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang
berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka
takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu
bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain
adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri
dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi
berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari
dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan
yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan
tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas[27].
Kesimpulan
Sebagaimana
telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam
pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena
pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian
penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani.
Tetapi bila
pemikirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi
mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi
sendiri. Yang diadopsi oleh al-Kinī adalah peminjaman istilah seperti
istilah Filsafat Pertama oleh al-Kindī dalam karyanya dinamakan al-Falsafah
al-‘Ūlā, sifat Tuhan diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan negative, serta
pembagian alam atas dan alam bawah, agen pertama sebagai Sebab Pertama adalah
teori yang diambil dari Neoplatinus. Kesimpulan genaralnya, yang dilakukan
al-Kindi adalah adapsi, buktinya ia memiliki gagasan-gagasan baru yang ternyata
bersebrangan dengan Aristoteles. Ternyata, sumber utama perbedaaan tersebut
pada aspek yang sangat elementer dalam filsafat, yakni konsep Tuhan. Filsafat
Ketuhanan al-Kindi berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun
di atas teori fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan al-Kindi berdasarkan
wahyu sedangan pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan
sekularisme.
Karena sumber
perbedaan itu dari hal yang paling mendasar, maka secara otomatis konsep-konsep
lainnya juga akan berbeda. Sebab, bagi al-Kindi, filsafat paling utama adalah
mencari yang benar, yakni konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa pemikiran
filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat
Ketuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi
dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah
sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred L Irvy,al-Kindi’s
Metaphysics[terj. Fi al-Falsafah al-‘Ula, al-Kindi], (New York: State
University of New York Press, 1974)
al-Kindi A Muslim
Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First
Pubished, 2006
Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009)
Hamid Fahmi Zarkasyi,The
Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, Jurnal Tsaqafah Vol. 4
No. 1 Zulqa’dah 1428
Hana’ Abduh Sulaiman
Ahmad,Atsaru al-Mu’tazilah fi al-Falsafah al-Ilahiyah ‘inda al-Kindi,(Maktabah
al-Tsaqafiyah al-Diniyyah, 1425/2005)
Joseph Schacht dan CE
Bosworth,The Legacy of IslamI (Oxford: Oxford University Press,
1972)
MM Syarif (ed),Para
Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993)
Muhammad Abdul Hadi
Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy,
1369/1950
Muhammad Lutffi
Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927)
Peter F.E,Aristotle
and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York:
New York University Press, 1968)
Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003)
Thomas F Wall, Thinking
About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United
States)
[1]Orientalis
mengenalkan al-Kindī adalah filosof muslim pertama. Padahal sebelum al-Kindī
banyak pengetahuan-pengetahuan filosofis di dunia Islam, tapi mereka tidak
menyebut sebagai filsafat. Padahal beberapa pengetahuan filsafat seperti ilmu
Kalam al-Asy’ari dan teori tasawwuf dapat dikategorikan sebagai ilmu filsafat.
Kajian orientalis ingin menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat dan
baru kenal filsafat setelah bersentuhan dengan Yunani. Lihat Jurnal Islamia
Vol. II No 3 Desember 2005, p. 44 dan Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam (ed), (Bangung: Mizan,2003), p.207
[2] Isma’il
R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang Islam.terj oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p.
337
[3] Baca
Hana’ Abduh Sulaiman Ahmad,Atsaru al-Mu’tazilah fi al-Falsafah al-Ilahiyah
‘inda al-Kindi,(Maktabah al-Tsaqafiyah al-Diniyyah, 1425/2005)
[5]Cemill
al-Hajj,Al-Mawsū’ah al-Muyassarah fi Fikri al-Falsafi wa al-Ijtima’i,(Beirut:Maktabah
Lubnan Nasyirun), p. 460
[6]Muhammad
Lutffi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927) p 1.
Abdul Rahman Badawiy,Mawsū’ah al-FalsafahJilid II,(Beirut: al-Mu’assasah
al-‘Arabiyah li al-Dirāsāt wa al-Nasy, 1984), p. 297
[7]Dedi
Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), p. 51
[8]Para
penerjemah Kristen dan Yahudi adalah penerjemah bayaran, sehingga kerja mereka
tidak berkelanjutan setelah proses penerjemahan. Tidak seperti al-Kindī dan
al-Farabi yang kerjanya tidak hanya penerjemahan, akan tetapi juga mengadopsi,
memberi komentar, menyeleksi dan mengislamkan. Buktinya, seperti diungkapkan
oleh Peter bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya
Aristotle karena khawatir membahayakan iman Kristiani. Baca The Harper Collin
Dictionari of Religion, Harper San Fransisco, 1986, p. 533, Peter F.E,Aristotle
and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York:
New York University Press, 1968), p. 57 lihat juga Jurnal Tsaqafah Vol 2 No.2
Thn 2006/1427 p. 286
[9]Dedi
Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), p.54
[10] Muhammad
Abdul Hadi Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah,(Dar al-Fikr
al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M), p. 97
[12]MM
Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993), p. 17 baca
juga Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah,
(Darul Fikr al-‘Arabiy, 1369/1950
[14] Isma’il
R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p.
337
[15]Thomas
F Wall, Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth:
Thomas Learning United States), p. 126-127
[16] Baca
Alfred L Irvy,al-Kindi’s Metaphysics[terj. Fi al-Falsafah al-‘Ula,
al-Kindi], (New York: State University of New York Press, 1974)
[17]Dedi
Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka
Setia,2009), p.56
[18]Seyyed
Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003), p.210
[20]Dedi
Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka
Setia,2009), p.56
[22]Lihat
Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural
Theologi, p.40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428
[23]Baca
al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic
Philosophy, First Pubished, 2006
[25]Baca
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003)
[26]Lihat
Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural
Theologi, dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 dan baca
MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, p. 215
[27]Baca
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bandung: Mizan,2003), p. 219 dan MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, p.
215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar