FILSAFAT IBNU SINA
I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad
pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para
filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang
semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam
yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci,
suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad[1].
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena
ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan
keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode -
metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran
rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh
lagi dalam sistem keagamaan Islam[2].
II. BIOGRAFI
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali
Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu
tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan
Dinasti Saman[3].Di Bukhara ia
dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam.
Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan
menghafal Al-Qur’an seluruhnya[4]. Dari
mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu
logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus.
Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama
dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator -
komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan
ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus
terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati
sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma
waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan
mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat
kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia
mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi [5]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran
pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas
tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak
orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori -
teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang
sakit[6].Ia tidak
pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali
menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk,
dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering -
sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu
dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[7].
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal
sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn
Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat
sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan
buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan.
Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan
kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi
mengambil manfaat dari perpustakaan itu[8] .Kemampuan
Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya.
Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,
dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain
lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang materia medeica,
Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum
budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banayak membantu terhadap
bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang
menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian
disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan
bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat
tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan
pembedahan penyakit - penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dan last
but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa dengan cara -
cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap
sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina
otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia
memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan
pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad
Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume;
“Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di
Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat
sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena
peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah
Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[9]
Selain kepandaiannya sebagai flosof dan
dokter, iapun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran
dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku -
buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku - bukunya telah disalin
kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai
mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh
karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh[10].
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina
terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya
yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab,
Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku - bukunya dalam bahasa Persia,
telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam
lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah
resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu
tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek
yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh
inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya[11].
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh
kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus
lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah
“Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan
hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan
berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang
monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat
paripatetik dalam Islam. [12]
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina
adalah :
1. As-
Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan,
atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku
ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh
buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di
Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan
berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1.1 Logika
(termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles
tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani
kemudiannya.
1.2 Fisika
(termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi
kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
1.3 Matematika.
Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen
Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang
aritmetika dan ilmu musik.
1.4 Metafisika.
Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles
dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk
menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
Dalam
zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di
pelbagai sekolah tinggi.
2. Nafat,
buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun,
buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas
Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya.
Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa.
Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus
el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8. Danesh
Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul
Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz,
kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu
logika secara lengkap.
11. Hikmah
el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915
menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf.
Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud.
Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam
ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat
wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan
- peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah,
(buku tentang kebahagiaan Jiwa)
Dari autobiografi dan karangan -
kaangannya dapat diketahui data tentang sifat - sifat kepribadianhya, misalnya
:
1. Mengagumi
dirinya sendiri
Kekagumannya
akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani.
Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku
telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.
2. Mandiri
dalam pemikiran
Sifat
ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti
dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian
juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa dan akal, mereka
mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan,
memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.
3. Menghayati
agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.
Kata
Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya
setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara
syarat - syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah
itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu,
akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan
dan dimudahkan-Nya kesukaran.
4. Rajin
mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca
selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya
tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk
dengan hal - hal lainnya”
5. Pendendam.
Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung
perasaannya. Dia hormat bila dihormati.
6. Cepat
melahirkan karangan
Ibnu
Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar
dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain.
Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah
bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan
yang dilakukannya.[14]
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama
Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter
melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the
Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh-
al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof)[15].
Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh
dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu
boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang
karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum
tidak demikian malah menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal,
al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya,
antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani
maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu,
melainkan demi kesehatan dan obta.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas
-aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis,
sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun
(428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan.
III. PEMIKIRAN
FILSAFAT IBNU Sina
A. Filsafat
Jiwa
Ibnu
Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal -
soal kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan
filsafat.
Memang
tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang
kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri
atau pikiran - pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika
maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam
segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak
terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat
kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat
filosof modern[16].
Pengaruh
Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir
Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot[17].
Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke
sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan.
Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran
ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau
ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti
bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu
mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang
lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan.
Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai
wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan
tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat
al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada
wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan
tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau
kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat
Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum
filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh.
Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti
banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang
tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran
yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi[18].
Menurut
al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur
(berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan
kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya
adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud
kekal dari segala yang ada[19]. Berfikirnya
Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang
diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan
segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya[20]
Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and
possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran :
Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[21]
Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang
dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang
dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana
jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari
akal ke sepuluh.
Segi
- segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua
segi yaitu :
1. Segi
fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa
hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera
dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu
jiwa yang sebenarnya.
2. Segi
metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa[22].
Ibnu
Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1. Jiwa
tumbuh - tumbuhan
( )
dengan daya - daya :
- Makan
( nutrition)
- Tumbuh
( growth)
- Berkembang
biak
( reproduction)
2. Jiwa
binatang
( )
dengan daya - daya :
- Gerak
( locomotion)
- Menangkap
( perception)
dengan dua bagian :
* Menagkap
dari luar dengan panca indera
* Menangkap
dari dalam dengan indera - indera dalam.
- Indera
bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
- Representasi
yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
- Imaginasi
yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
- Estimasi
yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya
keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
- Rekoleksi
yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa
manusia ( )
dengan daya - daya :
- Praktis
yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a. Akal
materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
b. Intelectual
in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c. Akal
actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal
mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak
dengan tak perlu pada daya upaya[23].
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas
dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan
kesempurnaan.
Menurut
Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang
sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia
tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada
badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih
berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa
manusia untuk dapat berfikir[24].
Sedangkan
menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya dia menyatakan bahwa
manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah
yaitu al-Nafs atau jiwanya[25]. Adapun
yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri
sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan –
pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakutatau al-amr.
Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi
fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi
fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya
tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali
menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang
berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan
merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism)
dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[26]
Jiwa
(al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar
tingkatan daya – daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus
al-tsalatsah) :
Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs
al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah dan memiliki tiga
daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah)
dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat
berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs
al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya penggerak (al-mukharikah)
dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-mukharikah)
terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya
berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua
sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial
sebelum mencapai aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua
merupakan kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan
yang kedua qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah).
Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah) dan 20 daya teoritis (al-alimah).
Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya – daya jiwa sensitive /
hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities.
Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa rasional
disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal
praktis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis
kepada daya penggerak[27].
Al-Ghazali
didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah kesalahan para
filosof muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham teistik di
Yunani. Para filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga
kelompok[28] :
1. Filosof
– filosof materialistik (dahriyyun)
Mereka
adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan alam
dan terciptanya alam dengan sendirinya.
2. Filosof
– filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).
Mereka
melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang
menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset
itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam
ciptaan Allah dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga
akhirnya mereka mau tak mau mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana.
Walaupun demikian mereka tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan
kembali dan kehidupan akhirat. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya
mereka memuaskan nafsu – nafsu mereka seperti binatang.
3. Filosof
– filosof teis (ilahiyyun).
Mereka
adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles
telah mengkritik filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato.
Walaupun begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa –
sisa kekafiran dan kebid’ahan mereka yang tak berhasil
dilepaskannya.
Filsafat
Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan
komentator – komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu
Sina terbagi ke dalam 3 kelompok :
a. Filsafat
– filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b. Filsafat
– filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.
c. Filsafat
– filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga
masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa Allah hanya mengetahui hal – hal
yang besar – besar dan tidak mengetahui hal – hal yang kecil - kecil[29].
Ada
empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu
:
1. Dalil
alam - kejiwaan (natural psikologi).
2. Dalil
Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3. Dalil
kelangsungan (kontinuitas).
Dalil
– dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1. Dalil
Alam Kejiwaan
Pada
diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah
mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan
pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak
ada dua macam yaitu :
1) Gerak
paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar
dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2) Gerak
bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a. Gerak
sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak
yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang
berjalan di bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau
seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap)
di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut
menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang
bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan
(pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh
sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan –
kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil
natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa)
dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.
Namun
dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa
natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru
mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari
unsur – unsur yang satu maca, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda
susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya
untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerakmelawan ketentuan alam
berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang
memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang
bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun
tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau
kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama
biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis
dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya
Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam
kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat,
dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan
dalil-dalil yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan
genitalianya Ibnu sina.[33]
2. Dalil
Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut
Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak
bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya.
Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya
tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi
hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[34]
3.
Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil
ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa
depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan
kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga
ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah
lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan –
gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai
pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa
jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik
yang tetap.
Ibnu
Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran
yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam,
bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut
dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa
sekarang.[35]
4. Dalil
Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil
ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya
kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan,
namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut
mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan
yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak
dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan
di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun
ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu
ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya.
Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang
wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau
panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat
tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan
demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau
melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali
dengan badan yaitu jiwa.
Dalil
Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu
hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara –
perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari
segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya
sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya
perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan
langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun
sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya
jiwa tersebut.[36]
B. Filsafat
Wujud.
Bagi
Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas
segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina
terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat
tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud,
essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi.
Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu
menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof
lain.
Kalau
dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu
Sina mumtani’ ( )
yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud ( -
impossible being).
2. Essensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa
ini disebut mumkin ( )
yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya
akan hancur menjadi tidak ada.
3. Essensi
yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi
tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya
dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai
wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut
mestiberwujud ( )
yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud[37].
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin,
tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada :
baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud
Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga
mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu,
yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[38]. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula
“bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin,
bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak
Qadim, sebelum Zaman[39].
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan
antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para
mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina
dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu
Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama,
perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah
(hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib
(mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar)
- dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada
bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang
baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah
telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam
pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah
sesudah diciptakan.
Kedua,
perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan
hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga,
manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan
dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini
yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak
semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya
upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu
tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah
kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi
kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi
pada dzat-Nya.
Keempat,
perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi
wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar),
faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini
dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan
Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep
Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan
konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai
pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk
memperoleh kesempurnaan[40].
Dalam empat catatan tersebut para penulis
sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan
konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh
mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa
Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui
Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles
tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
C. Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi
merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam
empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas
keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak
dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu
akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari
keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada
kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi
kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya
yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui
latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya
pada nabi - nabi[41].
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah
yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni
sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya
berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai
kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam
kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi
kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong
?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan –
tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu
struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak
akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum
dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan
negarawan yang sebenarnya.[42]
III. PENUTUP
¨ Ibnu
Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi
pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya
secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai
seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya
sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
¨ Menurut
Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan).
Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang
ada.
¨ Tuhan
adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
¨ Pemikiran
Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang
sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya
dengan usaha dan susah payah.
DAFTA PUSTAKA
Al-Ahwan,
Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah wa
al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967
____________, Madarij
al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964
____________, Ma’rij
al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jund, 1968
____________, Tahafut
al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktaba’ah al-Qahirah, 1903
Busyairi
Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta,
Al-Amin Press, 1997
Daudy
Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
_____________, Segi
- Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Hanafi,
Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Imam
Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke
masa, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985
Nasution,
harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesia, 1996
_____________, Falsafat
dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
Oemar
Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Poerwantana,
dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991
Syarif,
MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994
Thawil
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina
Utama Semarang, 1993
Zaenal
Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia,
Jakarta, Bulan Bintang, 1949
End Notes:
[1] M.M.
Syarif, MA, Para Filosof Muslim,
(Bandung, Mizan) 1994, hal. 101, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat
Islam,
Pustaka Firdaus, 1984, hal. 63
[3] Prof.
Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia), 1996, hal. 50
[5] H.
Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna)
Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan
Bintang), 1949, hal. 49
[6] Ahmad
Hanafi, MA, Pengantar Filsafat
Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat
Islam,
Pustaka Firdaus, hal. 65
[9] Imam
Munawir, Mengenal Pribadi 30
Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa, (Surabaya : PT. Bina
Ilmu), 1985, hal. 332 - 333
[13] Thawil
akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal. 37 - 39
[14] Busyairi
Madjidi, Konsep Pendidikan Para
Filosof Muslim, (Yogyakarta : Al-Amin Press). 1997, hal. 47 - 51
[15] Harun
Nasution, Islam di tinjau dari
berbagai aspeknya, jilid II, (jakarta : UI), 1986, hal. 51
[19] Al-farabi, Al-Da’awi
al-Qalbiyyah, (Haidarabad : Dar al-Ma’arif al-Usmaniyah, 1349 H),
hlm. 3-4
[25] Al-Ghazali, Ma’rij
al-Quds fi Madarij Ma’rofah al-Nafs, (Kairo : Maktabah
Al-Jund, 1968), hlm. 19.
[28] Lihat
al-Ghazali, al-Munqidz min
al-Dhalal, wa al-muwasshil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal,
di tahqiq oleh Dr. Jamil Shaliba dan Dr. Kamil ‘Iyad, Dar al-Andalus (Lebanon,
Beirut, 1967), cet. VI, hlm. 76 - 77
[38] Ahmad
Daudy, Segi - Segi Pemikiran
Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula Bintang), 1984, hal. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar