Rabu, 16 Mei 2012

Shalat Jenazah


SHOLAT JENAZAH
A.    Pendahuluan
Salah satu kajian fiqih yang paling sering dipraktekkan ditengah-tengah masyarakat adalah kajian  masalah shalat jenazah, kita memandang dari aspek teori shalat jenazah merupakan salah satu masalah ibadah yang amat gampang jika dibayangkan bahkan kita menyepelekan masalah tersebut. Namun jika kita melihat dari aspek praktek masih banyak kesalahan- kesalahan yang dilakukan dimasyarakat dalam masalah pengurusan jenazah. Karena teori dengan praktek dilapangan sangatlah berbeda, apalagi saat menjalani pratek kita harus mempersiapkan segala macam, dari segi peralatan dan mental kita. Untuk itu dalam makalah ini mengangkat sebuah tema yang berkaitan dengan menyolatkan jenazah dengan tujuan sebagai pandangan bagaimana seharusnya menyolatkan jenazah dengan baik dan benar. Kemudian dalam makalah ini juga membahas bagaimanaapa pengertian shalat jenazah itu sendiri, keutamaan-keutamaan dalam shalat jenazah, hukum sholat jenazah berdasarkan menurut hadist, syarat-syarat menyolatkan jenazah, rukun-rukun yang benar dalam melaksanakan sholat jenazah, dan yang terakhir ialah bagaimana hukumnya menyolatkan orang yang matinya syahid diperbolehkan ataukah tidak. Tujuan penyusunan makalah tersebut adalah untuk memberikan wawasan kepada masyarakat khususnya bagi mahasiswa  tentunya dalam  masalah cara menyolatkan jenazah, sehingga dapat meminimalisir kesalahan dan ketidak tahuan dalam masalah menyolatkan jenazah.
B.     Pembahasan
1.      Hukum shalat jenazah
            Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah bagi semua orang muslim yg hidup. Jika telah dikerjakan oleh satu orang sekalipun maka gugurlah kewajibannya dari yg lain. Salat ini mempunyai beberapa syarat rukun dan sunnah serta keutamaan sebagaimana akan kami sebutkan.[1] Dari Salamah bin Al-Akwa:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَ كْوَ عِ : كُنَّا جُلُوْ سًا عِنْدَ النَّبِىِّ صَلَّلى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِ ذْ اُ تِىَ بِجَنَا زَ ةٍ قَا لَ : صَلُّوْ ا عَلَى صَا حِبِكُمْ.
 رواه البخا رى.
Dari Salamah bin Al-Akwa’,”pada suatu saat kami duduk-duduk dekat Nabi Saw.Ketika itu dibawa seorang mayat, beliau berkata kepada kami, ‘shalakanlah teman kamu’.’(riwayat Bukhari).
2.      Keutamaan Shalat Jenazah
            Imam  Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Khabab , ia berkata bahwasanya Rasullah bersabda :
مَنْ تَبِعَ جَنَا زَةً وَصَلَّللى عَاَيْهَا فَلَهُ قِيْرَ ا طٌ وَ مَنْ تَبِعَهَا حَتَّى يُفْرَ غَ مِنْهَا فَلَهُ قِيْرَ ا طَا نِ, أَ صْغَرَ هُمَا مِثْلُ أُحُدٍ أَ و أَ حَدَهُمَا مِثْلُ أُحُد
“ Siapa yang mengantar jenazah dan menyalatinya, maka baginya satu qirath. Siapa mengantar jenazah samapai selesai (proses pemakaman), maka baginya dua qirath. Yang paling kecil adalah seperti gunung Uhud atau salah satu dari keduanya adalah seperti gunung Uhud.”
            Ibnu Umar lalu mengirim Khabab kepada Aisyah untuk menanyakan kebenaran perkataan Abu Hurairah tersebut. Ketika kembali dari rumah Aisyah, Khabab bercerita bahwa apa yang dikatakan Abu Hurairah itu benar. Mendengar apa yang dikatakan Khabab, Ibnu Umar berkata, sungguh kami telah kehilangan banyak kesempatan untuk mendapatkan beberapa qirath.
            Dari Abdullah bin Abbas, bahwa seorang putranya meninggal di Qalid atau ‘Usfan dan yang menyalatinya sebanyak empat puluh orang , Rasullah bersabda :
 مَنْ خَرَ جَ مَحَ جَنَا زَ ةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعهَا حَتَّلى تُدْ فَنَ.كَانَ   لَهُ قِيْرَ ا طَا نِ مِنْ أَ جْرٍ,كُلُّ قِيْرَ ا طٍ مِثْلُ أُ حُدٍ, وَ مَنْ صَلَّى غَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَا نَ لَهُ مِثْلُ أُ حُدٍ
 “ Tidaklah seorang muslim mati lalu jenazahnya di shalatkan empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah, melainkan Allah memberikan syafaat kepadanya lantaran mereka.”
3.      Syarat Shalat Jenazah
            Shalatnya jenazah sebagaimana redaksi shalat lainnya. Shalat jenazah juga memilki beberapa syarat sebagaimana syarat dalam  melaksanakan shalat fardhu[2] yaitu :
1.      Badannya suci, suci dari hadats kecil dan besar
2.      Menghadap ke kiblat
3.      Menutupi aurat
4.      Dilakukan setelah mayat dimandikan dan dikafani
Letak mayat itu sebelah kiblat orang yang menyalatkan, kecuali kalau shalat itu dilaksanakan diatas kubur atau shalat gaib. Yang membedakan shalat jenazah dengan shalat fardhu adalah bahwa shalat jenazah tidak terikat waktu, shalat jenazah dilakukan kapan saja ketika jenazah tiba, bahkan dalam waktu yang dilarang pun dapat melaksankan shalat jenazah, menurut Imam Abu Hanifah dan Syafi’i. Menurut Imam Ahmad, Ibnu Mubarok dan Ishak berpendapat bahwa melaksanakan shalat jenazah saat matahari terbit, tepat berada diatas dan saat tenggelam, hukummnya makruh kecuali jika tubuh dikhawatirkan akan membusuk.
4.      Rukun Shalat Jenazah
1)      Niat
Allah SWT berfirman,
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
“ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”(Al-Bayyinah:5).
Niat letaknya ada dalam hati, karenanya melafalkan niat disyariatkan. Jadi tidak diharuskan membaca bacaan shalat jenazah.
2)      Berdiri bagi yang mampu
            Dalam pandangan mayoritas ulama, berdiri merupakan bagian dari rukun shalat jenazah. Maka, jika ada yang melakukan shalat jenazah dalam keadaan duduk maka shalatnya tidak sah, karena ia tidak memenuhi salah satu dari rukun shalat, yaitu berdiri. Pendapat ini sesuai dengan pandangan Abu Hanifah, Syafi’i dan Abu Tsaur. Dan dalam hal ini, tidak ditemukannya adanya perbedaan pendapat.[3]
            Pada saat berdiri hendaknya tangan kanan menggenggam tangan kiri. Ada juga yang mengatakan tidak perlu. Tetapi sebagian besar lebih banyak menerima pendapat yang pertama.
3)      Takbir sebanyak empat kali.
            Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah Hadist yang bersumber dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah SAW melakukan shalat jenazah raja Najasyi dengan emapt takbir. Tirmizi berkata, shalat dengan 4 takbir merupakan amalan yang dilakukan para sahabat dan yang lain dengan melihat Rasulullah melakukan shalat jenazah dengan takbir empat kali. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafan, Malik, Ibnu Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishak.
4)      Mengangkat dua tangan saat takbir
            Mengankat dua tangan saat shalat jenazah kecuali hanya pada takbir pertama.Karenanya, takbir diberlakukan hanya pada saat takbiratul ihram, kecuali jika berpindah dari rukun satu ke rukun lain sebagaimana yang berlaku dalam shalat selain shalat jenazah. Sementara untuk shalat jenazah tidak dikenal takbiratul intiqal (takbir yang menandakan perpindahan antara satu rukun dengan rukun yang lain).[4]
5)      Membaca Al-Fatihah
Tidaklah sah jika shalat jenazah tidak membaca surat Al-Fatihah (menurut ahli hadist).
6)      Membaca shalawat atas Rasulullah SAW
Imam syafi’i berkata, sebagaimana yang tercantum dalam musnadnya, dari Abu memberitahukan kepadanya bahwa yang disunahkan dalam melaksanakan shalat jenazah adalah hendaknya imam takbir, lalu diiringi dengan membaca al-Fatihah setelah takbir yang pertama. Setelah itu membaca shalawat kepada Rasulullah saw. Dan membaca doa untuk jenazah pada takbir selanjutnya yang disertai dengan keikhlasan.
7)      Doa kepada jenazah
Membaca doa setelah shalat jenazah itu merupakan rukunnya.Dari HR.Muslim berkata, Rasulullah bersabda :
ا للَّهُمَّ ا غْفِرْ لَهُ وَ ا رْحَمْهُ وَعَا فِهِ وَأَكْرِ مْ نُزُ لَهُ وَوَسَّعْ مُدْ خَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وَبَرَدٍوَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَا يَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّ نَسِ وَأَ بْدِ لْهُ دَارًاخَيْرًامِنْ دَارِهِ وَأَ هْلاً خَيْرًا مِنْ أَ هْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرً ا مِنْ زَ وْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِوَعَذَابَالنَّارِ                                                                                   
  “ Ya Allah, ampunilah (dosanya), sayangilah dia, maafkanlah (kesalahannya), muliakan tempatnya, luaskan jalan masuknya, mandikan ia dengan air dan embun, bersihkan dirinya dari segala kesalahan sebagaimana baju putih yang telah dibersihkan dari segala kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik dan gantilah keluarganya dengan keluarga yang lebih baik dan gantilah pasangannya dengan pasangan yang lebih baik, juga selamatkan dari fitnah kubur dan siksa neraka.”

8)      Membaca doa setelah takbir keempat
Meskipun sudah membaca setelah takbir ketiga, berdoa setelah takbir keempat juga dianjurkan. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Imam dari Abdullah bin Aufa.Imam syafi’i berkata, setelah takbir keempat, hendaknya orang yang shalat membaca doa,
اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِ مْنَا أَ جْرَ هُ وَ لاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَ اغْفِرْ لَنَاوَلَهُ
“ Ya Allah, jangalah Engkau halangi (tutupi) kami dari mendaptkan ganjarannya, janganlah Engkau beri kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia”(Riwayat Hakim).
Ibnu Abu Hurairah berkata, orang-orang masa dulu setelah takbir keempat sering kali membaca.
ãök¤9$# ãP#tptø:$# ̍ök¤9$$Î/ ÏQ#tptø:$# àM»tBãçtø:$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 Ç`yJsù 3ytGôã$# öNä3øn=tæ (#rßtFôã$$sù Ïmøn=tã È@÷VÏJÎ/ $tB 3ytGôã$# öNä3øn=tæ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÒÍÈ  
 “ Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”  inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.”(Al- Baqarah;201).
9)      Salam
            Ibnu Mas’ud berkata, salam dalam shalat jenazah sama halnya dengan salam dalam shalat yang lain. Adapun lafal salam yang paling sederhana adalah “as-Salamualaikum Warahmatullahhiwabara’katuh.”[5]
5.      Cara Menyalati Jenazah
            Posisi imam saat menyalati jenazah perempuan dan lelaki. Diantara cara yang diajarkan Rasulullah saw. Bagi imam dalam meyalati jenazah lelaki adalah hendaknya berada persis di bagian kepala jenazah. Dan untuk jenazah perempuan, hendaknya imam berada di bagian tengah (perut).
Sebagai landasan atas hal ini adalah sebuah hadits yang bersumber dari Anas ra.bahwasanya ada seseorang yang melakukan shalat tepat dibagian kepalanya. Setelah jenazahnya dipangkat, kemudian di datangkan dengan jenazah perempuan dan ia merubah posisinya tepat di bagian tengah jenazah.(HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
6.      Hukum menyalati orang yang mati syahid
Syahid adalah orang yang meninggal dunia ditangan-tangan orang-orang kafir saat peperangan. Ada beberapa hadits yang dengan jelas menyatakan bahwa orang yang syahid tidah perlu dishslati.[6] Di antaranya adalah;
1.      Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bahwasannya Rasulullah saw.memerintahkan untuk mengebumikan para sahabat yang meninggalkan dunia saat perang Uhud dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalati.
2.      Imam Ahmad, Abu Daud dan Tirmmidzi meriwayatkan dari Anas ra.bahwasannya mereka yang syahid di bukit Uhud tidak dishalati , jenazahnya langsung dikebumikan dengan darahnya dan juga tidak dimandikan.
Adapun juga beberapa hadist yang menjelaskan bahwa jenazah para syuhada tetap dishalati. Di antaranya adalah:
1.      Imam Bukhari meriwayatkan dari Uqbah bin Amar bahwasannya rasulullah saw.pernah keluar lalu beliu melakukan shalat untuk mereka yang gugur dibukit Uhud sebagaimana beliu shalat jenazah setelah delapan tahun berlalu layaknya orang yang sedang berpamitan baik kepada orang yang masih hidup ataupun orang yang sudah meninggal dunia.
2.      Dari Abu Malik al-Ghifari, ia berkata, “mereka yang terbunuh pada saat perang Uhud sebanyak sembilan orang, sepuluh dengan Hamzah. Mereka dihadapkan kepada Rasulullah saw.lalu di datangkan sembilan jenazah yang lain, sementara jenazah Hamzah dibiarkan pada tempat semula.[7]
Kemudian Rasulullah saw.melaksanakan shalat untuk ke sembilan jenazah tersebut.”HR.Baihaki.
7.      Analisis
            Dengan melihat kontrakdisi pada masalah hukum menyalati orang yang mati Syahid itu menurut analisis kami kedua-duanya baik dilakukan, karena baik menyolati maupun tidak menyolati, kedua-duanya memiliki dasar yang bersumber dari rasullullah saw.kami berpegang dari riwayat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwasannya boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Jika ia menyolatkan orang-orang yang gugur dalam peperangan. Ini juga salah satu riwayatkan dari Ahmad,  dan dinilai benar oleh Ibnu al- Qayyim.
            Pendapat ini mengompromikan nash-nash yang shahih.  Selain itu dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menyatakan bahwasannya ada beberapa hadist yang seakan-akan hadist ini mutawatir, bahwa Rasulullah saw.tidak menyolati mereka yang syahid di perang uhud. Adapun hadist yang berasal dari Uqbah bin Amir, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah delapan tahun berlalu. Lebih lanjut Imam Syafi’i berkata: “seakan-akan rasulullah saw. Mendoakan saat itu mendoakan dan meminta ampuna untuk mereka setelah beliau akan wafat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menyolatkan dan tidak menyolatkan orang yang mati syahid ssemuanya boleh dilakukan sesuai kehendaknya.
KESIMPULAN
            Shalat Jenazah  merupakan salah satu praktik ibadah shalat yang dilakukan umat Muslim jika ada Muslim lainnya yang meninggal dunia. Hukum melakukan shalat jenazah ini adalah fardhu kifayah. Artinya apabila sebagian kaum muslimin telah melaksanakan pengurusan jenazah orang muslim yang meninggal dunia, maka didak ada lagi kewajiban kaum muslim yang lainnya untuk melaksanakan pengurusan jenazah tersebut. Kemudian shalat jenazah sudah ada syarat dan rukun-rukunnya yang berpegang pada dasar-dasar sunnah Rasulullah saw. Selain itu bahwa menyolatkan jenazah yang matinya syahid boleh dan tidak disholatkan karena Rasulullah pernah mengerjakan kedua-duanya, pernyataan ini didasarkan pada hadist-hadist yang ada, kemudian telah diamati bahwa nash-nashnya shahih.
Daftar Pustaka
1.      Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Abu. 2006. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka at-Tazkia.
2.      Nasiruddin Al-Albani, Muhammad. 2008. Fikih Sunnah. jilid 2. Jakarta: PT. Cakrawala.
3.      Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.


[1] Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Abu. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka at-Tazkia. 2006. hal. 47

[2] Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Abu. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka at-Tazkia. 2006. hal. 49
[3]Nasiruddin Al-Albani, Muhammad. Fikih Sunnah. jilid 2. Jakarta: PT. Cakrawala. 2008. hal. 85
[4] Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Abu. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka at-Tazkia. 2006. hal. 53

[5] Nasiruddin Al-Albani, Muhammad. Fikih Sunnah. jilid 2. Jakarta: PT. Cakrawala. 2008. hal. 87
[6] Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,Abu. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka at-Tazkia. 2006. hal. 55
[7] Sulaiman Rasyid,. Fiqih Islam. Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo. 1986. hal: 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar