A.
PENDAHULUAN
Riba dari segi bahasa berarti ziyadah (kelebihan) atau tambahan. Sedangkan menurut istilah syara
berarti tambahan harta (dalam pelunasan hutang) tanpa imbalan jasa apapun.
Dalam al-Qur’an pengertian riba dipakai untuk istilah bunga. Tetapi dari segi
ekonomi riba berarti surplus pendapatan yang diterima dari debitur sebagai
imbalan karena menangguhkan untuk waktu atau periode tertentu.[1]
Riba dilarang bukan hanya dikalangan kaum
Muslm saja tetapi juga dilarang dikalangan agama lain, terutama agama samawi.
Dalam konteks hukum eropa riba disebut dengan istilah interst (inggris) atau Usuary,[2]
rented an woeker (Belanda). Dalam
pemaknaannya, istilah-istilah tersebut memiliki perbedaan.
Islam menganggap riba sebagai kejahatan
ekonomi yang menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara ekonomis,
moral, maupun social. Oleh karena itu, al-Qur’an melarang kaum muslimin untuk
member ataupun menerima riba. Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam
al-Qur’an, ar-Razi[3]
menggali sebab larangannya riba dari sudut pandang ekonomi, dengan beberapa
indikasi sebagai berikut:
1.
Riba
tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai imbangan apapun.
Padahal, menurut sabda nabi harta seseorang adalah seharam darahnya bagi orang
lain.
2.
Riba
dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam usaha mencari rezeki.
Orang kaya, jika ia mendapatkan penghasilan dari riba, akan bergantung pada
cara yang gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
3.
Dengan
riba biasanya pemodal semakin kaya dan bagi peminjam semakin miskin, sekiranya
dibenarkan maka yang ada orang kaya menindas orang miskin
4.
Riba
secara tegas dilarang oleh al-Qur’an, dan kita tidak perlu tahu alas an
pelarangannya.
B.
TAFSIR AYAT-AYAT
RIBA
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ ß,ysôJt ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur w =Åsã ¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ ¨bÎ) úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#âqs?#uäur no4q2¨9$# óOßgs9 öNèdãô_r& yZÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÐÐÈ $ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ bÎ)ur c%x. rè ;ouô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ×öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. cqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ (#qà)¨?$#ur $YBöqt cqãèy_öè? ÏmÏù n<Î) «!$# ( §NèO 4¯ûuqè? @ä. <§øÿtR $¨B ôMt6|¡2 öNèdur w tbqãKn=ôàã ÇËÑÊÈ
275. Orang-orang yang makan
(mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
Telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[177]. dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].
277.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.
278. Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.
280. Dan
jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
281. Dan
peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan
yang Sempurna terhadap apa yang Telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun
tidak dianiaya (dirugikan).[4]
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl.
riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak
tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum
turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[177] yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah
memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. dan yang dimaksud dengan
menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang Telah dikeluarkan
sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178] maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan
riba dan tetap melakukannya.
Dalam bukunya As-Shabuni[5] telah menjelaskan secara rinci akan penafsiran surat al-Baqarah 275-281. Yang mana sebelumnya telah disebutkan bahwa pada surat inilah riba diharamkan secara keseluruhan (kulliy). Maka dari itu tidak perlu menafsirkan semua ayat riba diatas cukup ayat terakhir saja yang perlu kita tafsirkan sedang ayat lainnya sebagai penguat akan diharamkannya riba.
Maksud “ya’kuluna” pada surat Al-Baqarah ayat 275 diatas
adalah mengambil dan membelanjakannya. Tetapi disini dipakai dengan kata makan
karena maksud utama harta adalah untuk dimakan. Kata makan ini sering
pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain denagn cara yang tidak
benar.
Pemakan riba
disamakan dengan orang orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus
sekali, yaitu Allah memasukan riba ke dalam perut mereka itu, lalu barang itu
memberatkan mereka.hingga mereka sempoyongan bangun jatuh. Itu menjadi tanda
dihari kiamat sehingga semua orang mengenalnya. Begitulah seperti yang
dikatakan sa’id bin jubair.
Perkataan “innamal
bai’u mitslu riba” itu disebut tasybih maqlub (persamaan terbalik. Sebab
musyabah bih-nya memiliki nilai lebih tinggi. Sedang yang dimaksud disini ialah:
riba itu sama dengan jual beli. Sama sama halalnya. Tetapi mereka
berlebihan dalam kenyakinannya, bahwa riba itu dijadikan sebagai pokok dan
hukumnya halal, sehingga dipersamakan dengan jual beli. Disinilah letak
kehalusannya.
Yang menjadi titik
tinjauan dalam ayat 276 bahwa periba mencari keuntungan harta dengan cara riba
dan pembangkang sedekah mencari keuntungan dengan tidak mengeluarkan sedekah.
Untuk itulah Allah menjelaskan bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan tidak
berkembangnya harta.sedang sedekah menyebabkan berkemabngnya harta bukan
pengurang harta.
Kata “harb” dalam bentuk nakirah.adalah untuk menunjukan
besarnya persoalan ini. Lebih lebih ini di nisbatkan kepada Allah dan
rasul-Nya. Seolah olah Allah mengatakan; Percayalah akan ada suatu peperangan
dasyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan.
Perkataan “kaffar”
dan “atsiem” kedua kata ini termasuk sighat mubalaghah yang artinya; banyak
kekufuran dan banyak dosa. Ini menunjukan bahwa perbuatan haramnya riba ini
sangatlah keras sekali. Dan termasuk perbuatan orang orang kafir bukan
perbuatan orang orang muslim.
Perkataan “wa
inkana dzuu ‘usratin fa nadhiratun ila maysarah” itu memberikan semangat
kepada pihak yang menghutangi supaya benar benar memberikan tempo kepada pihak
yang berhutang sampai ia benar benar mampu. Anjuran ini juga ada pada
sunnah Nabi, HR Bukhari.
Sebagian ulama
berkata; barang siapa yang merenungkan ayat ayat diatas dengan segala
kandungannya seperti tentang siksaaan pemakan riba orang yang menghalalkan riba
serta besarnya dosanya, maka ia akan tahu akan keadaan mereka nanti di Akherat.
Ayat ini turun setelah terbukanya kota mekkah. Sebab turunnya adalah sehubungan
dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur kota mekkah Atab Bin Usaid
terhadap bani Tsaqif tentang utang utang yang dilakukan dengan riba sebelum
turun ayat pengharaman riba. Kemudian gubernur mengirimkan surat kepada
Rasulullah SAW melaporkan kejadian tersebut. Surat tersebut dijawab setelah
turunnya ayat 278-279 (HR. Abu Ya’la dalam kitab musnadnya dan Ibnu Madah Dari
Kalabi Dari Abi Salih Dan Ibnu Abbas).
C.
DEFINISI RIBA
MENURUT PARA ULAMA
Definisi Riba[6]:
1.
Menurut Madzhab Maliki “Setiap nama
yang diberikan bagi setiap jual beli yang diharamkan.”
2.
Menurut Madzhab Hanafi Penjelasannya
tidak menyeluruh hanya membahas jual beli. “Jual beli yang ada tambahan (barang
sejenis).”
Contohnya: 2 kilogram gandum ditukar dengan 2,5 kilogram gandum.
3.
Menurut Madzhab Syafi’i Penjelasan dari
madzhab ini terlalu berbelit-belit, didalamnya membahas tentang riba fadhl dan
riba nasi’ah. “Transaksi terhadap suatu benda
dengan ganti yang khusus yang tidak memiliki kesamaan menurut syara’saat
transaksi atau disertai pengakhiran dua objek transaksi atau salah satu
diantara keduanya. ”
4.
Menurut
Madzhab Hambali Penjelasan dari madzhab ini sudah mencakup semua tetapi
dibatasi. “Riba adalah ketidaksamaan pada sesuatu atau dengan
cara mengakhirkan sesuatu yang tertentu pada sesuatu.
Dari
penjelasan dari madzhab-madzhab di atas dapat disimpulkan definisi yang mencakup
semuanya, yaitu “ tambahan atas modal yang tidak sesuai syari’at”. Tambahan itu pada benda sejenis yang diharamkan sedang pada
benda yang tidak sejenis apabila dipertukarkan tidak haram atau tidak riba.
D. MACAM-MACAM RIBA
Secara
garis besar Riba yang diharamkan oleh Islam
itu ada dua macam:
1.
Riba Nasiah; riba yang sudah ma’ruf
dikalangan jahiliyah. Yaitu, seseorang mengutangi uang
dalam jumlah tertentu kepada seseorang dengan batas tertentu, misalnya dalam
sebulan, sebagai imbalan limit waktu yang diberikan. Masjfuk Zuhdi mengutip
pengertian Sayyid Sabiq riba nasiah adalah tambahan yang disyaratkan yang
diambil oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang, sebagai imbangan
atas penundaan pembayaraan utang. Menurut Ibnu Qoyyim yang dikutip oleh
Abdurahman Isa riba ini adalah riba yang jelas. Diharamkan karena keadaannya
sendiri.
Sebagaimana yang telah di jelaskan
pada asbabun nuzul riba ini telah biasa dilakukan pada masa jahiliyah sampai
sekarang. Dan Riba itulah yang kini sedang dipraktekan
di bank-bank konvensional. Mereka mengambil keuntungan dengan prosentase
tertentu dari pokok pinjaman yang ada.
2.
Riba fadhal; menurut Sayyid Sabiq
sebagaimana yang dikutip oleh Masjfuk Zuhdi adalah jual beli emas/perak atau
jual beli bahan makanan dengan bahan makanan yang sejenis dengan adanya
tambahan. Kalau riba nasiah diharamkan berdasarkan Al-Quran secara jelas sedang
riba fadhl secara jelas ditegaskan dalam hadits Nabi SAW seperti dibawah ini;
menurut Ibnu Qoyyim riba ini termasuk riba samar, yang diharamkan karena sebab
lainnya. Emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, beras (sya’ir) dengan beras (sya’ir) kurma dengan
kurma, garam dengan garam harus ditukar dengan sama dan kontan. Barang siapa
menambah atau meminta tambah, maka berarti dia berbuat riba, yang menerima dan
memberi adalah sama(HR. muslim).
Dalam hadits
lainnya dikatakan Emas dengan emas, perak dengan perak, beras gandum dengn
beras gandum, pad gandum dengan padi gandum, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, harus sama dan tunai. Tetapi kalau jenis jenis itu berbeda, maka
juAllah/tukarlah sesukamu, asal secara kontan (HR. Muslim, Ahmad, abu daud, dan
ibnu majah dari ‘ubadah bin ash-shamit)
Riba fadhl tidak terbatas pada enam macam barang yang tersebut dalam hadits diatas saja, tetapi mencakup semau mata uang dan semua bahan makanan yang mempunyai persamaan illat-nya.
Riba fadhl tidak terbatas pada enam macam barang yang tersebut dalam hadits diatas saja, tetapi mencakup semau mata uang dan semua bahan makanan yang mempunyai persamaan illat-nya.
Banyak kalangan berpendapat bahwa riba yang diharamkan
adalah riba yang keji yang berlipat ganda, sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas. Mereka berpendapat bahwa riba yang sedikit adalah boleh. Mereka
berpedoman pada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Tentang sebab
turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual
beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum
mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi
jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan
firman-Nya… (ayat di atas).”[7]
Pendapat diatas telah dijawab
oleh Ash-Shabuni sebagai berikut[8];
a.
Kata “berlipat ganda (adh’afam
Mudha’afan)” itu tidak dapat dikatakan sebagai syarat atau pengikat. Ini hanyalah waqi’atul ain (peristiwa yang pernah terjadi
pada masa jahiliyah). Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya pada
sebab sebab turunnya ayat. Menurut didin hafiduddin kata diatas menunjukan
adanya kebiasaan yang terjadai pada masyarakat waktu itu. Bukan menunjukan
sifat dari riba. Jadi pada ayat diatas tidak ada yang namanya mafhum mukhalafah.
Penulis kira kalau dilihat dari nasikh dan mansukh surat ali imran 130 ini
telah disempurnakan dengan surat albaqarah 278-279. karena surat ali imran 130
turun lebih dahulu setelah itu surat albaqarah 278-279.
b.
Jumhur
ulama sepakat bahwa riba adalah haram hukumnya baik sedikit atau banyak. Alasan
untuk membenarkan riba sedikit adalah untuk mencari keuntungan sendiri saja.
Jadi jika membenarkan riba sedikit maka ia telah keluar dari ijma’ yang berarti
menunjukan atas kebodohannya terhadap pokok-pokok syariah. Sebab riba sedikit
akan membawa atau menyeret pada riba yang banyak. Islam mengharamkan sesuatu
yang diharamkan secara keseluruhan. Berdasarkan kaidah ”syaddud dzari’ah”).
Sekarang kalau ditanya Apakah minum arak itu jika sedikit saja hukumnya juga
halal?
c.
Ash-Shabuni
melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang belum mengerti juga
akan keharaman riba ini. Apakah kalian mengaku beriman kepada sebagian kitab
dan kufur pada sebagian kitab yang lainnya? Mengapa anda memakai ayat (ali
imran 130) sebagai dalil. Bukannya berdalil dengan surat albaqarah ayat “Dan
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”,“takutlah kepada Allah dan
tinggalkan apa yang tersisa dari riba”, “Allah menghapus riba dan menyuburkan
sedekah” juga hadits Nabi Rosulullah SAW melaknat orang yang makan riba,
yang memberi makan dengan harta riba, penulis riba dan dua saksi riba, semua
itu adalah sama saja. mari kita reka ulang cara berpikir kita.
E.
TAHAPAN
PENGAHARAMAN RIBA
Ummat Islam dilarang mengambil riba apa pun jenisnya.
Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari
berbagai surat dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah. Larangan riba yang
terdapat dalam Al Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam
empat tahap[9].
1.
Menolak anggapan bahwa pinjaman riba
yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah.
Allah
berfirman : (Q.S. Ar Rum: 39)
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: Dan sesuatu
riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka
riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat
demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).[10]
2.
Riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah
berfirman : (Q.S. An Nisa: 160-161)
5Où=ÝàÎ6sù z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rß$yd $oYøB§ym öNÍkön=tã BM»t7ÍhsÛ ôM¯=Ïmé& öNçlm; öNÏdÏd|ÁÎ/ur `tã È@Î6y «!$# #ZÏWx. ÇÊÏÉÈ ãNÏdÉ÷{r&ur (#4qt/Ìh9$# ôs%ur (#qåkçX çm÷Ztã öNÎgÎ=ø.r&ur tAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ 4 $tRôtGôãr&ur tûïÌÏÿ»s3ù=Ï9 öNåk÷]ÏB $¹/#xtã $VJÏ9r& ÇÊÏÊÈ
Artinya: Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan
bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,.
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang
daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.[11]
3.
Riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah
berfirman : (Q.S. Ali Imran: 130).
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qè=à2ù's? (##qt/Ìh9$# $Zÿ»yèôÊr& Zpxÿyè»ÒB ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÌÉÈ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
[228] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.[12]
[228] yang dimaksud riba di sini ialah riba
nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya Haram,
walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang
dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah
yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab
zaman Jahiliyah.
Ayat ini turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat
ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari
terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.[13]
4.
Allah
dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang menyangkut riba, diturunkan pada tahun
9 Hijriyah. Allah berfirman : (Q.S. Al Baqarah: 278-279)
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& w cqßJÎ=ôàs? wur cqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.[14]
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbabun
nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabary[15]
meriwayatkan bahwa:
Kaum Tsaqif,
penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah bahwa
semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang ber-dasarkan
riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja.
Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid
sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah
administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan
uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah
senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka
tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk
menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah – seperti sediakala –
tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan
(riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin
Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada
Rasulullah dan turunlah ayat di atas. Rasulullah lantas menulis surat balasan
kepada Gubernur Itaba’ jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka
itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum
perang kepada mereka.
F. HIKMAH PENGHARAMAN RIBA
Syariat Islam memandang riba adalah salah satu dosa yang
sangat besar dan berbahaya. Maka dari itu Islam memerangi dan memberantasnya
tanpa ampun. Praktek riba ini sangat merugikan masyarakat. Maka dari itu Islam
menganggap perbuatan riba sebagai perbuatan dosa besar-bahkan termasuk 7 dosa
besar yang dilaknat oleh Allah SWT. Sedangkan sedekah kebalikan dari riba,
makanya Allah sangat mengajurkan perbuatan ini. Karena dengan berlakunya
sedekah akan menghidupkan roda kehidupan masyarakat.
Berikut
ini beberapa dampak akan bahayanya riba bagi masyarakat;
1.
Bagi
jiwa manusia hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga
tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih
sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri
daripada orang lain.
2.
Bagi
masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan.
Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan
cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang
akan tercipta dimasyarakat.
3.
Bagi roda pergerakan ekonomi hal ini
akan menyebabkan manusia dalam dua golongan besar yaitu orang miskin sebagai
pihak yang tertindas dan orang kaya sebagai pihak yang menindas. Dengan adanya riba menyebabkan eksploitasi kekayaan oleh
sikaya terhadap simiskin. Modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak
tersalurkan kepada usaha usah yang produktif. Bisa menyebabkan kebangkrutan
usaha dan pada gilirannya bias mengakibatkan keretakan rumah tangga jika sipeminjam
tidak mampu membayarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahsa
suroyodan Nastangin, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), III
Al-Qurtubi,
Imam, al Jami’ li Ahkamil Qur’an, , jilid ke-4, Al-maktaba Al
Assrya.
As-Shabuni, Terjemah tafsir ayat ahkam, Surabaya: Bina Ilmu. 2003.
Fakhruddin
Muhammad ar-Razi, Tafsir al-Kabir,
(Tuhran: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), II
Ismanto, Kuat,
Asuransi Syariah tinjauan asas-asas hukum islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
2009.
Muhammad
ibnu Jarir At-Thabari, Abu Ja’far, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil Ayil
Qur’an Tafsir Tobari, jilid 6
Cetakan Kedua. Dar As-Salam.
Rasyid, H.
Sulaiman, fiqh Islam, cetakan ke 41, Sinar Baru Algesindo Bandung, 2008.
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, kesan dan Keserasian Al-Quran, Jilid 2,
Tangerang: Lentera Hati. 2007.
Ulwan, Abdullah
Nasir, Hukum Riba Dalam Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta.
1985
[1]
Kuat Ismanto, Asuransi Syariah tinjauan
asas-asas hukum islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2009. Hal: 176-177
[2]
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih
bahsa suroyodan Nastangin, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), III: 48
[3]
Fakhruddin Muhammad ar-Razi, Tafsir
al-Kabir, (Tuhran: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.), II:87.
[4] Surat Al-Baqoroh ayat 275-279,
Al-Qur’an Al-Adzim dan terjemahnya, Depag. Jakarta 2008
[6]
Abdullah Nasir Ulwan, Hukum Riba Dalam
Pandangan Empat Mazhab. Litera Antar Nusa. Jakarta. 1985
[8] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan,
kesan dan Keserasian Al-Quran, Jilid 2, Tangerang: Lentera Hati. Hal: 216
[9] H.
Sulaiman Rasyid, fiqh Islam, cetakan
ke 41, Sinar Baru Algesindo Bandung, 2008
[10] Surat Ar Rum ayat 39, Al-Qur’an
Al-Adzim dan terjemahnya, Depag. Jakarta 2008
[11] Surat An-Nisa 160-161, Al-Qur’an
Al-Adzim dan terjemahnya, Depag. Jakarta 2008
[12] Surat Al-Imron ayat 130,
Al-Qur’an Al-Adzim dan terjemahnya, Depag. Jakarta 2008
[14] Surat Al-Baqoroh ayat 278-279,
Al-Qur’an Al-Adzim dan terjemahnya, Depag. Jakarta 2008
[15] Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir
At-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wiliil
Ayil Qur’an Tafsir Tobari, jilid 6 hal 2691. Dar As-Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar