A.
Pendahuluan
Filsafat
merupakan suatu induk ilmu pengetahuan, yang berarti mencari hakikat sesuatu
sedalam-dalamnya atau berfikir tentang sesuatu dengan seluas-luasnya sampai
berpijak pada kebenaran yang terdalam.
Banyak
terdapat cabang dalam filsafat, diantaranya ada filsafat Islam, filsafat Ilmu,
filsafat pengetahuan maupun yang lain. Pada makalah ini kami akan membahas
tentang filsafat Islam, yakni tentang salah satu filosofinya Ibnu Bajjah dan
Ibnu Thufail.
B.
Ibn
Bajjah
1.
Biografi Ibn
Bajjah
Ibnu
Bajjah atau nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh
al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti ibn Bajjah. Merupakan filsuf dan dokter
Muslim Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Latinnya, Avempace.
Ia lahir di Saragossa di tempat yang kini bernama Spanyol pada tahun 475 H (
1082 M ), dan meninggal di Fez pada 113, menurut suatu riwayat beliau meninggal
karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu Al-Aen ibn Zuhri yang iri hati
terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya. Beliau dapat menyelesaikan
jenjang kuliah di akademisnya juga di kota itu. Maka ketika pergi ke Granada,
dia telah menjadi seorang sarjana bahasa dan sastra Arab dan dapat menguasai
dua belas macam ilmu pengetahuan.[1]
Selain
sebagai filsuf, Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu
Saragosa berda di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibn Ibrahim Al-Syahrawi, dari
daulah Al-Murabbitun Ibnu Bajah dipercayakan sebagai wazir, pada tahun 512 H,
Sarogossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa
pindah ke Sevilla. Di kota ini beliau bekarja sebagai Dokter, kemudian
beliau pindah ke Granada dan dari sana beliau pindah ke Afrika Utara pusat
dinasti murabbitun, malang bagi Ibnu Bajjah setibanya di kota Syatibah beliau
ditangkap oleh Amir Abu Ishaq Ibrahim Ibn Yusuf Ibn Tasifin yang menuduhnya sebagai
murtad dan pembawa bid’ah karena pikiran-pikiran filsafatnya yang
asing bagi masyarakat islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni
ortodoks. Atas jasa Ibn Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajjah
dilepaskan. Kondisi masyarakat Baeber yang belum bisa
berfikir filosofis tersebut menyebabkan beliau melanjutkan pengembaraannnya ke
Fez di Maroko. Disini beliau masih bisa melanjutkan kariernya sebagai
ilmuan di bawah perlindungan penguasa murabbitun yang ada di sana. Bahkan
hubungannya dengan pihak penguasa istana berjalan baik, sehingga beliau
diangkat sebagai menteri oleh Abu Bakar Yahya Ibn Yusuf Ibn Tasifin untuk waktu
yang lama.
2.
Filsafat moral dan ketuhanan
a.
Moral
Ibnu Bajjah mengelompokkan perbuatan manusia
kepada perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi. Perbuatan hewani adalah
perbuatan yang didorong oleh motif naluri atau hal-hal lain yang berhubungan
dengannya. Sedangkan perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan akal
budi, timbul karena adanya pemikiran yang lurus. Dalam upaya mencari
klasifikasi, apakah suatu perbuatan itu bersifat hewani atau manusiawi,
perlulah memiliki spekulasi disamping kemauan. Dari sifat spekulasi dan kemauan
ini kemudian Ibnu Bajjah membagi kebajikan menjadi dua jenis yakni kebajikan
formal dan kebajikan spekulatif. Kebajikan formal merupakan sifat yang dibawa
sejak lahir tanpa adanya pengaruh kemauan atau spekulasi. Sedangkan kebajikan
spekulatif didasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi.
Menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang
bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada
hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai
perbuatannya dan bisa disebut orang langit. Jika segi hewani tunduk kepada
ketinggian segi kemanusiaan, maka seseorang menjadi manusia dengan tidak ada
kekurangannya karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukannya kepada
naluri.[2]
b.
Metafisika
(ketuhanan)
Menarik tesis yang
dimunculkan M.M. Syarif,[3]
kendatipun dalam pandangan De Boer[4]
filsafat fisika, metafisika, dan logika ibnu Bajjah sejalan dengan Al-Farabi,
namun ia tidaklah menyalin dan menerima semua yang dituturkan Al-Farabi, tetapi
ia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam filsafatnya dan menggunakan
metode penelitian filsafat yang hanya didasarkan pada nalar semata.
Menurut ibnu Bajjah,
segala yang ada (al-maujûdât) terbagi dua: yang bergerak dan tidak
bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) dan sifatnya finite
(terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakan terhadap yang
digerakan. Gerakan ini digerakan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir
rentetan gerakan ini digerakan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam arti
penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini
bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab ia
terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan infinite
(tidak terbatas), yang oleh ibnu Bajjah disebut ‘aql.
Kesimpulannya, gerak
alam ini (jisim yang terbatas) digerakan oleh ‘aql (bukan berasal dari
substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak adalah ‘aql, ia
menggerakan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘Aql inilah yang disebut
dengan Allah (‘aql, ‘âqil, dan ma’qûl), sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa
para filosof Muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah ‘aql. Argumen
yang mereka majukan ialah Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar menurut
natur rancangan-Nya, mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian dalam
mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah
adalah dzat yang mempunyai daya berpikir (‘aql), juga berpikir (‘âqil)
dan objek pemikirannya sendiri (ma’qûl). Keseluruhannya adalah dzat-Nya
yang Esa.[5]
Sebagaimana
Aristoteles, Ibnu Bajjah juga mendasarkan filsafat metafisiknya pada fisika.
Argumen adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di ala mini. Jadi, Allah
adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas.
Di sinilah letak
kelebihan Ibnu Bajjah walaupun ia bergerak dari filsafat gerak Aristoteles,
namun ia kembali pada ajaran islam. Dasar filsafat ajaran Aristoteles ialah
ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris
ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia masih
bersifat empiris.
Uraian di atas bisa
dijadikan sebagai indikasi bahwa Ibnu Bajjah mempelajari dan memahami filsafat
Aristoteles dengan baik karena Arguman yang dimajukannya masih berbau Aristoteles.
Tampaknya Ibnu Bajjah berupaya mengislamkan argument metafisika Aristoteles
tersebut. Karena itu menurutnya Allah tidak hanya bergerak tetapi ia adalah
pencipta dan pengatur alam. Namun, secara umum uraian Ibnu Bajjah dibidang ini
belum mendalam. Penalaran yang lebih sempurna dalam hal ini akan dapat dilihat
dalam filsafat Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd.
Untuk mencapai kedekatan
dengan Tuhan, Ibnu Bajjah menganjurkan untuk melakukan tiga hal, yaitu:
1) Membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan
memuliakanNya
2) Membuat organ-organ tubuh kita bertindak
sesuai dengan wawasan hati.
3) Menghindari segala yang membuat kita lalai
mengingat Tuhan.
C.
Ibn
Thufail
1.
Biografi
Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu
Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia
dilahirkan di Guadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam
bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[6]
Selain terkenal sebagai filosof
muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh
dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan.
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat
ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di
provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris
pribadi Gubernur Cueta dan Tangier Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua
dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi
dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf,
Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain,
khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat
filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan
pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti
dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[7]
Kemudian ia mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan
usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas
permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu
Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko)
dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[8]
Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu
Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada
muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga kita tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya
yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn
Yaqzhan (Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn
Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6
Hijriah (abad ke-12 M).
2.
Pemikiran Ibn Tufail
Beliau
menuangkan pemikiran filsafatnya dalam bukunya yaang berjudul Hayy Ibn
Yaqzhan Ibn Thufail berusah membuktikan kebenaran tesis kesatuan
kebijaksanaan dan mistis melalui kisah fiktif. Secara ringkas karya ini
berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau
tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail sebagai hay bin
yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak oleh seekor
kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya telah
mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata
berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa
hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di
bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir dan
menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk
menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit
binatang yang telah mati.
Sampai
pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya
untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak
menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia
mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan
yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku.
Maka hayy bin yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu
pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.
Selain
dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqdhan menyalakan api di pulau
tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan
penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan
bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap.
Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya
mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di
sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Seiring
dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke-35,
dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada
hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah
lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa
(nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan
kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil
berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang
wajibul wujud (The necessary being).
Sampai
pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang
manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd)
yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi,
maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqdhan. Dan Hayy bin yaqdhan pun
mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaaâ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran
wahyu (syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu
berbicara dengan bahasa Absal.
Kedua
orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid
dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka
tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[9]
Jika
dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing
menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
a.
Hayy
bin Yaqdhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan atas
keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dengan isinya serta dirinya
sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.
b.
Tokoh
Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memikirkan wahyu
sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini
terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.
c.
Keadaan
di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.
Ibn
Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakikat kebenaran ke
dalam enam bagian :
1)
Dengan
cara ilmu Hayy Bin Yaqdhan, yaitu denagn kekuatan akalnya sendiri,
memperhatikan alam makhluk ini bahwa tiap-tiap kejadian ada yang
menyebabkannya.
2)
Dengan
cara pemikiran Hayy Bin Yaqhdan terhadap teraturnya peredaran benda-benda besar
di langit seperti matahari, bulan, dan bintang-bintang.
3)
Dengan
memikirkan bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu ialah mempersaksikan adanya wajibal-wujud Yang
Maha Esa.
4)
Dengan
memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja dari makhluk hewani tetapi
dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan utama
daripada hewan.
5)
Dengan
memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari kebinasaan
hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksian terhadap Tuhan wajibal-wujud.
6)
Mengakui
bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali kepada tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
De Boer, T.J.,
1962, Tarikh al-Falsafat fi al-Islam, Ter.
Muhammad Abd Al-Hadi Abu Zaidah, Kairo: Mathba’at al-Taklif.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar
Filsafat Islam. ( JakartaÂ: Bulan Bintang ).
Hasan Al-Ma’sumi,
Muhammad Saghir, 1963, “Ibnu Bajjah” A
History of Muslim Philosophy, Vol l, Wisbaden: Otto Horossowitz.
Mustofa,
Ahmad. 2007. Filsafat Islam. ( Bandung : CV.ÂPustaka
Setia  ).
Nasution,
Harun, 1973, Falsafah Agama, Jakarta:
Bulan Bintang, Cet. I.
Sirajuddin. Zar, 2007. Filsafat
Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono.
1997. Filsafat Islam. ( Jakarta : PT Rineka Cipta ).
[3] Muhammad Saghir Hasan Al-Ma’sumi, “Ibnu
Bajjah” A History of Muslim Philosophy, Vol
l, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm. 507
[4] T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafat fi al-Islam, Ter. Muhammad Abd Al-Hadi Abu
Zaidah, (Kairo: Mathba’at al-Taklif, 1962), HAL. 280
[5] Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. I, hal. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar