Rabu, 16 Mei 2012

Filsafat Islam Ibnu Bajjah & Ibnu Tufail


A.    Pendahuluan
            Filsafat merupakan suatu induk ilmu pengetahuan, yang berarti mencari hakikat sesuatu sedalam-dalamnya atau berfikir tentang sesuatu dengan seluas-luasnya sampai berpijak pada kebenaran yang terdalam.
            Banyak terdapat cabang dalam filsafat, diantaranya ada filsafat Islam, filsafat Ilmu, filsafat pengetahuan maupun yang lain. Pada makalah ini kami akan membahas tentang filsafat Islam, yakni tentang salah satu filosofinya Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail.

B.     Ibn Bajjah
1.      Biografi Ibn Bajjah
            Ibnu Bajjah atau nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti ibn Bajjah. Merupakan filsuf dan dokter Muslim Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Latinnya, Avempace. Ia lahir di Saragossa di tempat yang kini bernama Spanyol pada tahun 475 H ( 1082 M ), dan meninggal di Fez pada 113, menurut suatu riwayat beliau meninggal karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu Al-Aen ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya. Beliau dapat menyelesaikan jenjang kuliah di akademisnya juga di kota itu. Maka ketika pergi ke Granada, dia telah menjadi seorang sarjana bahasa dan sastra Arab dan dapat menguasai dua belas macam ilmu pengetahuan.[1]
            Selain sebagai filsuf, Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu Saragosa berda di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibn Ibrahim Al-Syahrawi, dari daulah Al-Murabbitun Ibnu Bajah dipercayakan sebagai wazir, pada tahun 512 H, Sarogossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla. Di kota ini beliau bekarja sebagai Dokter, kemudian beliau pindah ke Granada dan dari sana beliau pindah ke Afrika Utara pusat dinasti murabbitun, malang bagi Ibnu Bajjah setibanya di kota Syatibah beliau ditangkap oleh Amir Abu Ishaq Ibrahim Ibn Yusuf Ibn Tasifin yang menuduhnya sebagai murtad dan pembawa bidah karena pikiran-pikiran filsafatnya yang asing bagi masyarakat islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni ortodoks. Atas jasa Ibn Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajjah dilepaskan. Kondisi masyarakat Baeber yang belum bisa berfikir filosofis tersebut menyebabkan beliau melanjutkan pengembaraannnya ke Fez di Maroko. Disini beliau masih bisa melanjutkan kariernya sebagai ilmuan di bawah perlindungan penguasa murabbitun yang ada di sana. Bahkan hubungannya dengan pihak penguasa istana berjalan baik, sehingga beliau diangkat sebagai menteri oleh Abu Bakar Yahya Ibn Yusuf Ibn Tasifin untuk waktu yang lama.
2.      Filsafat moral dan ketuhanan
a.       Moral
      Ibnu Bajjah mengelompokkan perbuatan manusia kepada perbuatan hewani dan perbuatan manusiawi. Perbuatan hewani adalah perbuatan yang didorong oleh motif naluri atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Sedangkan perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan akal budi, timbul karena adanya pemikiran yang lurus. Dalam upaya mencari klasifikasi, apakah suatu perbuatan itu bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki spekulasi disamping kemauan. Dari sifat spekulasi dan kemauan ini kemudian Ibnu Bajjah membagi kebajikan menjadi dua jenis yakni kebajikan formal dan kebajikan spekulatif. Kebajikan formal merupakan sifat yang dibawa sejak lahir tanpa adanya pengaruh kemauan atau spekulasi. Sedangkan kebajikan spekulatif didasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi.
      Menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit. Jika segi hewani tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, maka seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.[2]
b.      Metafisika (ketuhanan)
Menarik tesis yang dimunculkan M.M. Syarif,[3] kendatipun dalam pandangan De Boer[4] filsafat fisika, metafisika, dan logika ibnu Bajjah sejalan dengan Al-Farabi, namun ia tidaklah menyalin dan menerima semua yang dituturkan Al-Farabi, tetapi ia telah memberikan sejumlah besar tambahan dalam filsafatnya dan menggunakan metode penelitian filsafat yang hanya didasarkan pada nalar semata.
Menurut ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujûdât) terbagi dua: yang bergerak dan tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) dan sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakan terhadap yang digerakan. Gerakan ini digerakan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini digerakan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan infinite (tidak terbatas), yang oleh ibnu Bajjah disebut ‘aql. 
Kesimpulannya, gerak alam ini (jisim yang terbatas) digerakan oleh ‘aql (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak adalah ‘aql, ia menggerakan alam dan ia sendiri tidak bergerak. ‘Aql inilah yang disebut dengan Allah (‘aql, ‘âqil, dan ma’qûl), sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa para filosof Muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah ‘aql. Argumen yang mereka majukan ialah Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah adalah dzat yang mempunyai daya berpikir (‘aql), juga berpikir (‘âqil) dan objek pemikirannya sendiri (ma’qûl). Keseluruhannya adalah dzat-Nya yang Esa.[5]
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Bajjah juga mendasarkan filsafat metafisiknya pada fisika. Argumen adanya Allah adalah dengan adanya gerakan di ala mini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas.
Di sinilah letak kelebihan Ibnu Bajjah walaupun ia bergerak dari filsafat gerak Aristoteles, namun ia kembali pada ajaran islam. Dasar filsafat ajaran Aristoteles ialah ilmu pengetahuan alam yang tidak mengakui adanya sesuatu di balik alam empiris ini. Kendatipun penggerak pertama berbeda dengan materi, namun ia masih bersifat empiris.
Uraian di atas bisa dijadikan sebagai indikasi bahwa Ibnu Bajjah mempelajari dan memahami filsafat Aristoteles dengan baik karena Arguman yang dimajukannya masih berbau Aristoteles. Tampaknya Ibnu Bajjah berupaya mengislamkan argument metafisika Aristoteles tersebut. Karena itu menurutnya Allah tidak hanya bergerak tetapi ia adalah pencipta dan pengatur alam. Namun, secara umum uraian Ibnu Bajjah dibidang ini belum mendalam. Penalaran yang lebih sempurna dalam hal ini akan dapat dilihat dalam filsafat Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd.
Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibnu Bajjah menganjurkan untuk melakukan tiga hal, yaitu:
1)      Membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan memuliakanNya
2)      Membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan hati.
3)      Menghindari segala yang membuat kita lalai mengingat Tuhan.

C.    Ibn Thufail
1.      Biografi
            Nama lengkap ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[6]
            Selain terkenal sebagai filosof muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan. Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktik di Granada. Lewat ketenarannya sebagai dokter, ia diangkat menjadi sekretaris Gubernur di provinsi tersebut. Pada tahun 1154 M (549 H) Ibnu Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Cueta dan Tangier Abu Yaqub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua dari Dinasti Muwahhidun (558 H / 1163 M – 580 H / 1184 M) selanjutnya menjadi dokter pemerintah dan sekaligus menjadi qadhi.
            Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[7]
            Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[8]
            Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd), sehingga kita tidak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzhan (Si Hidup anak Si Sadar), yang judul lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah. Yang ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
2.      Pemikiran Ibn Tufail
            Beliau menuangkan pemikiran filsafatnya dalam bukunya yaang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan Ibn Thufail berusah membuktikan kebenaran tesis kesatuan kebijaksanaan dan mistis melalui kisah fiktif. Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut di sebut oleh Ibnu Thufail sebagai hay bin yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri. Ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun hay bin yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut. Ia melihat bahwa hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor, pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya. Hal tersebut membuat hay bin yaqdhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati.
            Sampai pada suatu saat, matilah kijang yang mengasuhnya. Hal tersebut mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut. Tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku. Maka hayy bin yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir.
            Selain dari pada itu, pada suatu hari hayy bin yaqdhan menyalakan api di pulau tersebut, maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas. Tidak cukup dengan itu, ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang di bakar api terasa lebih enak dan sedap. Maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
            Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin yaqdhan pada umurnya yang ke-35, dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani (tajalliyaat) sang wajibul wujud (The necessary being).
            Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Absal, seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhd) yang datang dari negeri yang jauh untuk beribadah, bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Absal dengan Hayy bin yaqdhan. Dan Hayy bin yaqdhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama (Al asmaaâ kulluhaa) dan kebenaran-kebenaran wahyu (syariat). Dan setelah masa yang panjang Hayy pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Absal.
            Kedua orang tersebut membandingkan pikirannya masing-masing, di mana yang satu murid dari alam, sedang yang lain adalah seorang filosof dan pemeluk agama, maka tahulah keduanya bahwa dirinya telah mencapai kesimpulan yang sama.[9]
            Jika dilihat, maka akan didapati tiga hal dalam kisah tersebut yang masing-masing menjadi lambang tiga hidup yang berlainan:
a.       Hayy bin Yaqdhan, sebagai lambang kekuatan akal dalam mencapai suatu kesimpulan atas keyakinan kepada Tuhan. Dengan memikirkan alam dengan isinya serta dirinya sendiri, lambat laun sampai pada keyakinan kepada Tuhan.
b.      Tokoh Absal, sebagai lambang hidup tokoh agama, yang dengan memikirkan wahyu sebagai kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan kepada Tuhan. Dari sini terlihat kesesuaian antara agama dan filsafat.
c.       Keadaan di sekitar, sebagai lambang fakta-fakta kehidupan.
Ibn Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakikat kebenaran ke dalam enam bagian :
1)      Dengan cara ilmu Hayy Bin Yaqdhan, yaitu denagn kekuatan akalnya sendiri, memperhatikan alam makhluk ini bahwa tiap-tiap kejadian ada yang menyebabkannya.
2)      Dengan cara pemikiran Hayy Bin Yaqhdan terhadap teraturnya peredaran benda-benda besar di langit seperti matahari, bulan, dan bintang-bintang.
3)      Dengan memikirkan bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu ialah mempersaksikan adanya wajibal-wujud Yang Maha Esa.
4)      Dengan memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja dari makhluk hewani tetapi dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan utama daripada hewan.
5)      Dengan memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari kebinasaan hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksian terhadap Tuhan wajibal-wujud.
6)      Mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali kepada tuhan.


DAFTAR PUSTAKA

De Boer, T.J., 1962, Tarikh al-Falsafat fi al-Islam, Ter. Muhammad Abd Al-Hadi Abu Zaidah, Kairo: Mathba’at al-Taklif.

Hanafi, Ahmad.  1996. Pengantar Filsafat Islam. ( JakartaÂ: Bulan Bintang ).
Hasan Al-Ma’sumi, Muhammad Saghir, 1963, “Ibnu Bajjah” A History of Muslim Philosophy, Vol l, Wisbaden: Otto Horossowitz.

Mustofa, Ahmad. 2007. Filsafat Islam. ( Bandung : CV.ÂPustaka Setia Â ).
Nasution, Harun, 1973, Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I.

Sirajuddin. Zar, 2007. Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sudarsono. 1997. Filsafat Islam. ( Jakarta : PT Rineka Cipta ).


[1] A. Mustofa, Filsafat Islam, ( Bandung : CV.  Pustaka Setia, cet.  III,  2007 ), hlm.  225.
[2] Sudarsono,  Filsafat Islam, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997 ), hlm.  79.
[3] Muhammad Saghir Hasan Al-Ma’sumi, “Ibnu Bajjah” A History of Muslim Philosophy, Vol l, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm. 507
[4] T.J. De Boer, Tarikh al-Falsafat fi al-Islam, Ter. Muhammad Abd Al-Hadi Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’at al-Taklif, 1962), HAL. 280
[5] Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. I, hal. 17
[6] Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 205
[7] Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 206
[8] Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[9] Ahmad Hanafi,  Pengantar Filsafat Islam,  ( Jakarta: Bulan Bintang, 1996 ), hal. 163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar